Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Haryono 2008). Feryanto (2008) menyatakan pembangunan pertanian tidak terlepas dari pengembangan kawasan pedesaan yang menempatkan pertanian penggerak utama perekonomian.
Potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi lokal pedesaan menjadi faktor utama pembangunan pertanian. Saat ini disadari bahwa pembangunan pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan integrasi dengan kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang berada di perkotaan. Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah dari segi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan.
Berangkat dari kondisi tersebut perlu disusun sebuah kerangka dasar pembangunan pertanian yang kokoh dan tangguh, artinya pembangunan yang dilakukan harus didukung oleh segenap komponen secara dinamis, ulet dan mampu mengoptimalkan sumberdaya, modal, tenaga, serta teknologi sekaligus menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian harus berdasarkan keberlanjutan yakni mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi. Konsep pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan dengan perencanaan wilayah yang berbasiskan sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah tertentu. Konsep perencanaan mempunyai arti penting dalam pembangunan nasional karena perencanaan merupakan sutau proses persiapan secara sistematis dari rangkaian kegiatan yang akan dilakukan dalam upaya pencapaian suatu tujuan tertentu. (Feryanto, 2008)
Untuk menghasilkan pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan bidang pertanian khususnya agribisnis, seharusnya kita terlebih dahulu kenal dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi sektor agribisnis nasional sehingga kita dapat menyusun strategi untuk menghadapinya dan mempercepat pembangunan sektor agribisnis dari kondisi saat ini menuju kinerja sektor agribisnis yang diharapkan. Pengembangan sektor agribisnis dimasa depan, khususnya menghadapi era globalisasi, akan mengahadapi sejumlah tantangan besar yang bersumber dari tuntutan pembangunan ekonomi domestik, perubahan lingkungan ekonomi internasional, baik karena pengaruh liberalisasi ekonomi maupun karena perubahan-perubahan fundamental dalam pasar produk agribisnis internasional. Faktor-faktor penting dan harus ada dalam proses pembangunan agribisnis adalah sebagai berikut:
Berangkat dari kondisi tersebut perlu disusun sebuah kerangka dasar pembangunan pertanian yang kokoh dan tangguh, artinya pembangunan yang dilakukan harus didukung oleh segenap komponen secara dinamis, ulet dan mampu mengoptimalkan sumberdaya, modal, tenaga, serta teknologi sekaligus menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian harus berdasarkan keberlanjutan yakni mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi. Konsep pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan dengan perencanaan wilayah yang berbasiskan sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah tertentu. Konsep perencanaan mempunyai arti penting dalam pembangunan nasional karena perencanaan merupakan sutau proses persiapan secara sistematis dari rangkaian kegiatan yang akan dilakukan dalam upaya pencapaian suatu tujuan tertentu. (Feryanto, 2008)
Untuk menghasilkan pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan bidang pertanian khususnya agribisnis, seharusnya kita terlebih dahulu kenal dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi sektor agribisnis nasional sehingga kita dapat menyusun strategi untuk menghadapinya dan mempercepat pembangunan sektor agribisnis dari kondisi saat ini menuju kinerja sektor agribisnis yang diharapkan. Pengembangan sektor agribisnis dimasa depan, khususnya menghadapi era globalisasi, akan mengahadapi sejumlah tantangan besar yang bersumber dari tuntutan pembangunan ekonomi domestik, perubahan lingkungan ekonomi internasional, baik karena pengaruh liberalisasi ekonomi maupun karena perubahan-perubahan fundamental dalam pasar produk agribisnis internasional. Faktor-faktor penting dan harus ada dalam proses pembangunan agribisnis adalah sebagai berikut:
- Agribisnis merupakan suatu sistem sehingga semua kegiatan yang terdapat dalam sistem tersebut harus saling terkait dan tidak berdiri sendiri.
- Agribisnis merupakan alternatif bagi pengembangan strategi pembangunan ekonomi.
- Agribisnis berorientasi pasar dan perolehan nilai tambah dari suatu komoditas.
Menurut Mosher (1987), tahap-tahap pembangunan pertanian adalah: (a)pertanian tradisional (subsisten). Dalam pertanian tradisional, produksi pertanian dan konsumsi sama banyaknya dan hanya satu atau dua macam tanaman saja. Produksi dan produktivitas rendah karena hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Penanaman atau penggunaan modal hanya sedikit sekali, sedangkan tanah dan tenaga kerja manusia merupakan faktor produksi yang dominan. Pada tahap ini hukum penurunan hasil berlaku karena terlampau banyak tenaga kerja yang pindah bekerja di lahan pertanian yang sempit.
Dengan melihat keadaan di atas jelas bahwa dalam keadaan yang penuh resiko serta tidak ada kepastian, para petani merasa enggan untuk pindah dari teknologi tradisional dan pola pertanian yang telah berpuluh tahun dipahaminya ke sistem baru yang menjamin hasil produksi yang lebih tinggi, tetapi masih ada kemungkinan mengalami kegagalan waktu panen. Jadi bagi para petani, usaha yang lebih penting adalah menghindarkan kegagalan panen daripada usaha untuk memaksimalkan produk pertaniannya. (b) Pertanian tradisional menuju pertanian modern. Penganekaragaman pertanian merupakan suatu langkah pertama yang cukup logis dalam masa transisi dari pertanian subsisten ke pertanian modern (komersial). Pada tahap ini tanaman-tanaman pokok tidak lagi mendominasi produk pertanian, karena tanaman-tanaman perdagangan yang baru seperti buah-buahan, kopi, teh dan lain-lain sudah mulai dijalankan bersama usaha peternakan yang sederhana. Selain hal di atas, pemakaian alat-alat sederhana seperti traktor kecil, hewan penarik bajak, bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Akhirnya, penggunaan bibit-bibit yang lebih baik (bibit unggul), pupuk dan irigasi yang baik juga bisa meningkatkan produk pertanian. Dengan demikian para petani bisa memperoleh surplus produksi yang dijual kepasar. Selain itu penganekaragaman pertanian juga bisa memperkecil dampak kegagalan panen tanaman pokok dan memberikan jaminan kepastian pendapatan yang sebelumnya tidak pernah ada. Keberhasilan atau kegagalan usaha-usaha untuk mentransformasikan pertanian tradisional tidak hanya tergantung pada keterampilan dan kemampuan para petani dalam meningkatkan produktivitasnya, tetapi juga tergantung pada kondisi-kondisi sosial, komersial, dan kelembagaan. (c) Pertanian modern.
Pertanian modern menggambarkan tingkat pertanian yang lebih maju. Keadaan demikian bisa dilihat di negara-negara industri yang sudah maju. Pertanian modern berkembang sebagai respon terhadap dan sejalan dengan pembangunan yang menyeluruh dibidang-bidang lain dalam ekonomi nasional. Kenaikan standar hidup, kemajuan biologis dan teknologis serta perluasan pasar-pasar nasional dan internasional merupakan motor yang penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Dalam pertanian modern, pengadaan pangan untuk kebutuhan sendiri dan jumlah surplus yang bisa dijual bukan lagi merupakan tujuan pokok. Keuntungan (profit) komersial murni merupakan ukuran keberhasilan dan hasil maksimum perhektar dari hasil upaya manusia (irigasi, pupuk, pestisida, bibit unggu dan lain-lain) dan sumberdaya alam merupakan tujuan kegiatan pertanian.
Menurut Mosher (1987), pembangunan pertanian tidak dapat terlaksana hanya oleh petani sendiri. Pertanian tidak dapat berkembang melalui tahap subsisten tanpa adanya perkembangan yang sesuai pada bidang-bidang kehidupan nasional lainnya dari masyarakat dimana pertanian itu dilaksanakan. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin tergantung pada sumbar-sumber dari luar lingkungannya. Petani meningkatkan kadar kesuburan tanah dengan menambahkan pupuk pada lahan pertaniannya. Petani meningkatkan pula kelembahan lahan pertaniannya dengan air pengairan yang sering kali diperoleh melalui saluran dari sumber-sumber yang jauh letaknya. Para petani juga semakin banyak menjual hasil pertaniannya ke pasar-pasar di luar daerahnya. Bahkan keterampilan dan pengetahuan yang ia praktekkan dalam usahataninya semakin bertambah pula oleh pendidikan yang diperoleh lewat kursus-kursus, latihan-latihan, dan penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh dinas pertanian.
Mosher (1987) menganalisis syarat-syarat pembangunan pertanian jika pertanian akan dikembangkan secara baik, dengan mengelompokkan syarat-syarat pembangunan tersebut menjadi dua, yaitu syarat mutlak dan syarat tidak mutlak.
Syarat mutlak menurut Mosher ialah: (a) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani. Pembangunan pertanian akan meningkatkan produksi hasil-hasil usaha tani. Hasil-hasil ini tentunya akan dipasarkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi untuk menutupi biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan para petani sewaktu memproduksinya. Di dalam memasarkan hasil-hasil produk pertanian ini diperlukan adanya permintaan akan hasil-hasil produk pertanian tersebut, sistem pemasaran, dan kepercayaan para petani pada sistem pemasaran tersebut, (b) teknologi yang senantiasa berkembang. Meningkatnya produksi pertanian diakibatkan oleh pemakaian cara-cara atau teknik-teknik baru di dalam usahatani. Memang tidaklah mungkin untuk memperoleh hasil yang banyak dengan hanya menggunakan tanaman dan hewan yang itu-itu saja, menggunakan tanah yang lama dan dengan cara yang tetap seperti dulu. Teknologi pertanian berarti “cara-cara bertani”. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk pula di dalamnya benih, pupuk, obat-obatan pemberantas hama, alat-alat, dan sumber-sumber tenaga. Juga termasuk berbagai kombinasi jenis-jenis usaha oleh para petani agar dapat menggunakan tenaga dan tanah mereka sebaik mungkin. Agar pembangunan pertanian dapat berjalan terus, haruslah selalu terjadi perubahan. Apabila perubahan ini terhenti, maka pembangunan pertanian pun juga ikut terhenti.
Menurut Mosher (1987), pembangunan pertanian tidak dapat terlaksana hanya oleh petani sendiri. Pertanian tidak dapat berkembang melalui tahap subsisten tanpa adanya perkembangan yang sesuai pada bidang-bidang kehidupan nasional lainnya dari masyarakat dimana pertanian itu dilaksanakan. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin tergantung pada sumbar-sumber dari luar lingkungannya. Petani meningkatkan kadar kesuburan tanah dengan menambahkan pupuk pada lahan pertaniannya. Petani meningkatkan pula kelembahan lahan pertaniannya dengan air pengairan yang sering kali diperoleh melalui saluran dari sumber-sumber yang jauh letaknya. Para petani juga semakin banyak menjual hasil pertaniannya ke pasar-pasar di luar daerahnya. Bahkan keterampilan dan pengetahuan yang ia praktekkan dalam usahataninya semakin bertambah pula oleh pendidikan yang diperoleh lewat kursus-kursus, latihan-latihan, dan penyuluhan-penyuluhan yang diberikan oleh dinas pertanian.
Mosher (1987) menganalisis syarat-syarat pembangunan pertanian jika pertanian akan dikembangkan secara baik, dengan mengelompokkan syarat-syarat pembangunan tersebut menjadi dua, yaitu syarat mutlak dan syarat tidak mutlak.
Syarat mutlak menurut Mosher ialah: (a) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani. Pembangunan pertanian akan meningkatkan produksi hasil-hasil usaha tani. Hasil-hasil ini tentunya akan dipasarkan dan dijual dengan harga yang cukup tinggi untuk menutupi biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan para petani sewaktu memproduksinya. Di dalam memasarkan hasil-hasil produk pertanian ini diperlukan adanya permintaan akan hasil-hasil produk pertanian tersebut, sistem pemasaran, dan kepercayaan para petani pada sistem pemasaran tersebut, (b) teknologi yang senantiasa berkembang. Meningkatnya produksi pertanian diakibatkan oleh pemakaian cara-cara atau teknik-teknik baru di dalam usahatani. Memang tidaklah mungkin untuk memperoleh hasil yang banyak dengan hanya menggunakan tanaman dan hewan yang itu-itu saja, menggunakan tanah yang lama dan dengan cara yang tetap seperti dulu. Teknologi pertanian berarti “cara-cara bertani”. Di dalamnya termasuk cara-cara bagaimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman dan memungut hasil serta memelihara ternak. Termasuk pula di dalamnya benih, pupuk, obat-obatan pemberantas hama, alat-alat, dan sumber-sumber tenaga. Juga termasuk berbagai kombinasi jenis-jenis usaha oleh para petani agar dapat menggunakan tenaga dan tanah mereka sebaik mungkin. Agar pembangunan pertanian dapat berjalan terus, haruslah selalu terjadi perubahan. Apabila perubahan ini terhenti, maka pembangunan pertanian pun juga ikut terhenti.
Produk terhenti kenaikannya bahkan dapat menurun karena merosotnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang semakin meningkat oleh hama penyakit, (c) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal. Sebagian besar metode baru yang dapat meningkatkan produksi pertanian memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi yang khusus. Diantaranya termasuk pupuk, bibit, obat-obatan pemberantasan hama, makanan dan obat ternak. Pembangunan pertanian memerlukan kesemua faktor di atas tersedia diberbagai tempat dalam jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi keperluan tiap petani yang mungkin mau menggunakannya, (d) adanya perangsang produksi bagi petani. Teknologi yang telah maju, pasar yang mudah, dan tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi, kesemuanya memberikan kesempatan kepada para petani untuk menaikkan produksi. Faktor perangsang utama yang membuat petani bergairah untuk meningkatkan produksinya adalah perangsang yang bersifat ekonomis. Faktor perangsang tersebut adalah harga hasil pertanian yang menguntungkan , pembagian hasil yang wajar, dan tersedianya barang-barang dan jasa yang ingin dibeli oleh para petani untuk keluarganya, (e) tersedianya pengangkutan yang lancar dan berkelanjutan. Tanpa pengangkutan yang efisien dan murah, keempat syarat mutlak lainnya tidak dapat berjalan dengan efektif, karena produksi pertanian harus tersebar luas.
Oleh karena itu diperlukan suatu jaringan pengangkutan yang bercabang luas untuk membawa bahan-bahan perlengkapan produksi ke tiap usaha tani, dan membawa hasil usaha tani ke konsumen di kota-kota besar dan kecil.
Yang termasuk atau syarat pelancar ialah: (a) pendidikan pembangunan. Pendidikan pembangunan disini dititikberatkan pada pendidikan nonformal yaitu berupa penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya. Pendidikan pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani, (b) kredit produksi, (c) untuk meningkatkan produksi, para petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli bibit unggul, obat-obatan pemberantas hama, pupuk dan alat-alat lainnya. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari tabungan atau dengan meminjam untuk jangka waktu antara saat-saat bahan produksi dan peralatan itu dibeli dan saat panen dapat dijual. Oleh karena itu lembaga-lembaga perkreditan yang memberikan kredit produksi kepada para petani merupakan suatu faktor pelancar yang penting bagi pembangunan pertanian, (d) kegiatan gotong royong petani. Para petani bekerjasama dalam menanam tanaman mereka atau dalam memanen hasil panen adalah kegiatan gotong royong yang dilakukan secara informal. Kegiatan seperti ini juga mempercepat pembangunan pertanian, (e) perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Sebagian besar usaha-usaha pembangunan pertanian yang telah dibicarakan di atas ditunjukkan untuk menaikkan hasil panen tiap tahun dari tanah yang telah menjadi usahatani. Ada dua cara tambahan untuk mempercepat pembangunan pertanian yaitu dengan memperbaiki mutu tanah yang telah menjadi usaha tani (intensifikasi) dan pembukaan petak-petak sawah baru (ekstensifikasi), (e) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Perencanaan pertanian adalah proses memutuskan apa yang hendak dilakukan pemerintah mengenai tiap kebijaksanaan dan kegiatan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu. Dalam mengambil keputusan ini, pemerintah harus menghadapi pertanyaan mengenai apa yang ada pada saat ini diperlukan untuk memajukan pertanian dimasa yang akan datang.
Di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40%, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60%. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. (Haryono, 2008)
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) cit Asmelia (2011) sebagai berikut: (a) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (b) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (c) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (d) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.
Yang termasuk atau syarat pelancar ialah: (a) pendidikan pembangunan. Pendidikan pembangunan disini dititikberatkan pada pendidikan nonformal yaitu berupa penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya. Pendidikan pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani, (b) kredit produksi, (c) untuk meningkatkan produksi, para petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli bibit unggul, obat-obatan pemberantas hama, pupuk dan alat-alat lainnya. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari tabungan atau dengan meminjam untuk jangka waktu antara saat-saat bahan produksi dan peralatan itu dibeli dan saat panen dapat dijual. Oleh karena itu lembaga-lembaga perkreditan yang memberikan kredit produksi kepada para petani merupakan suatu faktor pelancar yang penting bagi pembangunan pertanian, (d) kegiatan gotong royong petani. Para petani bekerjasama dalam menanam tanaman mereka atau dalam memanen hasil panen adalah kegiatan gotong royong yang dilakukan secara informal. Kegiatan seperti ini juga mempercepat pembangunan pertanian, (e) perbaikan dan perluasan tanah pertanian. Sebagian besar usaha-usaha pembangunan pertanian yang telah dibicarakan di atas ditunjukkan untuk menaikkan hasil panen tiap tahun dari tanah yang telah menjadi usahatani. Ada dua cara tambahan untuk mempercepat pembangunan pertanian yaitu dengan memperbaiki mutu tanah yang telah menjadi usaha tani (intensifikasi) dan pembukaan petak-petak sawah baru (ekstensifikasi), (e) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Perencanaan pertanian adalah proses memutuskan apa yang hendak dilakukan pemerintah mengenai tiap kebijaksanaan dan kegiatan yang mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu. Dalam mengambil keputusan ini, pemerintah harus menghadapi pertanyaan mengenai apa yang ada pada saat ini diperlukan untuk memajukan pertanian dimasa yang akan datang.
Di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40%, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60%. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. (Haryono, 2008)
Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) cit Asmelia (2011) sebagai berikut: (a) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (b) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (c) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (d) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor.
Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustri. Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian dimasa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produk-produk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani. Kedua, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya bisa berkembang dalam kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi dan mendapat intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dianggap sebagai most-heavily regulated. (Haryono, 2008)
Menurut Sudaryanto et al. (2000), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (a) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas(b) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi dan (c) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Sejak awal 1990an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi
Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto, 2000). Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (a) Program peningkatan ketahanan pangan, (b) Program pengembangan agribisnis, dan (c) Program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005).
Menurut Sudaryanto et al. (2000), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (a) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas(b) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi dan (c) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani. Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Menyadari akan hal tersebut di atas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Sejak awal 1990an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi
Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto, 2000). Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (a) Program peningkatan ketahanan pangan, (b) Program pengembangan agribisnis, dan (c) Program peningkatan kesejahteraan petani. Operasionalisasi program peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi lainnya (Departemen Pertanian, 2005).
0 Komentar