MENGAPA HARUS PERTANIAN ORGANIK?


Sebelum membahas tentang pertanian organik, maka sebaiknya kita terlebih dahulu mengenal sejarah dari pertanian itu sendiri. Istilah yang umum tentang pertanian adalah kegiatan menanami tanah dengan tanaman yang nantinya menghasilkan suatu yang dapat dipanen, dan kegiatan pertanian merupakan campur tangan manusia terhadap tetumbuhan asli dan daur hidupnya. Dari pengertian itu dapat disimpulkan bahwa dalam produksinya, dibutuhkan campur tangan dari manusia sebagai pengelolanya.
Dalam perjalanan waktu, pertanian itu dapat juga dipisahkan dalam beberapa periode yang dimulai dari pertanian tradisional, konvensional dan sistem organik. Adapun maksud dari periode pertanian tradisional ini adalah sistem pertanian yang masih bersifat ekstensif dan tidak memaksimalkan input atau sarana produksi untuk memacu hasil panennya. Sebagai contoh dari sistem ini adalah ladang berpindah, pada periode ini memang tuntutan ekonomi para pengelolanya yaitu petani belum begitu banyak dan orentasinya masih pada pemenuhan kebutuhan pangan dari yang bersangkutan yakni mempertahankan hidup keluarganya. Dalam pelaksanaaanya, pertanian tradisional merupakan pola pertanian yang akrab lingkungan karena tidak memakai input yang bersifat kimiawi.
Namun seiring makin bertambahnya kebutuhan hidup, penduduk serta diiringi makin sempitnya lahan, maka dirasa perlu untuk memaksimalkan hasil panen dari lahan yang diusahakan. Beranjak dari pemikiran tersebut maka timbul gagasan untuk melipatgandakan hasil dengan luas lahan yang ada.
Adapun langkah yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut diantaranya dengan program intensifikasi pertanian yakni memakai perlakuan-perlakuan untuk merangsang tanaman agar berproduksi lebih banyak dan malahan mampu dalam waktu yang relatif singkat bisa panen.
Berdasarkan tuntutan tersebut, maka mulailah sistem pertanian bergerak ke pertanian modern yang berorentasi produksi dan ditandai dengan mengedepankan inovasi teknologi mulai dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, pemupukan, pengairan hingga panen. Pada pengolahan tanah telah diterapkan mekanisasi pertanian berupa mesin-mesin pertanian, sementara pada bibit berupa pengunaan hasil rekayasa genetika. Di sisi lain dalam hal menyuburkan tanah mulai diperkenalkan pupuk sintetis berbahan kimia, yang dibuat pada abad ke 18, berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amonia. Begitu juga dengan pemberantasan hama dan penyakit tanaman juga diperkenalkan pestisida sintetis berbahan kimia pada tahun 1940an. Sedangkan soal pengairan telah mengenal irigasi teknis dan non teknis.
Sistem pertanian ini telah melanda berbagai belahan bumi dan tak terkecuali di Indonesia, khusus di Indonesia sesuai dengan program pemerintah pusat ketika itu yakni swasembada pangan, maka penerapan sistem ini begitu gencar dilakukan. Malahan hasil yang didapat dari penerapan teknologi itu sangat memuaskan terutama dalam mengejar tingkat produksi pangan. Maka periode ini sering disebut sebagai revolusi hijau. Sayangnya, pada sistem pertanian ini memiliki sejumlah persoalan mulai dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Kalau ditelisik lebih dalam dari aspek ekonomi bakal memberatkan petani karena membutuhkan modal usaha yang cukup besar karena pembelian sarana produksi seperti diantaranya pembelian benih yang berkualitas, pemberian pupuk dan pestisida yang juga relatif mahal apalagi ditambah dengan mekanisasi berupa mesin pertanian yang tentu juga mahal.
Sementara itu dari sisi ekologi sistem ini memiliki sejumlah kelemahan seperti, penurunan kesuburan tanah, kenyataan ini terjadi karena seringnya penggunaan pupuk kimia ataupun bahan-bahan kimia lain, seperti pestisida yang lama-kelamaan akan merusak kesuburan tanah akibat matinya organisme alami penyubur tanah karena keracunan bahan kimia. Maka dengan sendirinya keanekaragaman hayati yang biasanya berdiam di lahan tersebut bakal menyusut atau malahan hilang sama sekali atau bahasa lainnya kawasan itu akan kehilangan organik tanah.
Dari sejumlah dampak negatif itu masih ada dampak lainnya seperti ancaman erosi peningkatan pencemaran air tanah akibat residu bahan kimia dari pupuk atau pestisida dan yang lebih berisiko adalah residu yang terbawa ketika panen yang lahannya masih terkontaminasi bahan kimia. Pada kondisi ini bakal mengancam konsumen karena dikhawatirkan termakan oleh masyarakat banyak.
Kalau kita cermati sistem pertanian konvensional dari sisi sosial, maka sejumlah dampak negatif bakal kita rasakan seperti halnya, mulai berkurangnya atau malah hilangnya kearifan lokal yang membudaya di daerah tersebut, seperti sifat gotongroyong sebab orentasi pertanian konvensional adalah keuntungan mengingat biaya produksi yang telah dikeluarkan sangat banyak. Sehingga kepedulian sesama petani mulai berkurang disamping itu yang lebih berbahaya adalah ketergantungan petani terhadap ketersediaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida buatan. Kecendrungan ini secara sosial sangat riskan dan bakal mudah “dipermainkan” oleh pihak penyedia baik dari produsen atau penyalur saprodi tersebut. Kalau hal ini terus berlanjut, rasa percaya diri petani bakal terganggu akibat ketersediaan saprodi tersebut, sehingga tanpa pupuk dan pestisida mereka bakal takut untuk memulai musim tanam.
Sementara itu, kelebihan sistem konvensional yang mampu mendongkrak hasil panen belum tentu memberi dampak positif terhadap petani dari segi pendapatan. Sebab, dengan modal usaha yang relatif tinggi, tentu akan menggerus penjualan hasil panen yang ujung-ujungnya tak akan meningkatkan pendapatan petani. Malahan petani yang masih bertahan dengan pola itu bakal terjerat dalam “lingkaran setan” yang berkelanjutan. Betapa tidak, tiap beberapa periode musim tanam, tanah bakal membutuhkan penambahan dosis pupuk. Hal yang sama juga terjadi pada dosis pestisida yang dibutuhkan untuk memberantas hama penyakit�juga makin meningkat, sebab hama penyakit semakin kebal dengan pengulangan dosis yang sama. Sementara itu biologi tanah dan kimia tanah dari tahun ke tahun semakin rusak.
Namun, seiring dengan adanya kesadaran global tentang pentingnya menjaga ekosistem yang keberlanjutan terhadap lingkungan, melahirkan pemikiran untuk mewariskan alam ini kepada anak cucu dalam kondisi lestari. Khusus dalam hal pertanian maka lahirlah istilah pertanian yang berkelanjutan atau sustainable agriculture. Adapun maksud dari gerakan ini diantaranya, pertanian yang masih terjaga saat ini, masa yang akan datang hingga selamanya. Artinya pertanian tetap lestari yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan serta terhindar dari bencana terutama bagi manusia dan alam.
Maka dalam pelaksanaanya, pendekatan terhadap gerakan ini dijawab oleh sistem pertanian organik. Karena dalam sistem pertanian ini input yang digunakan merupakan sumber daya yang ramah lingkungan yakni mengunakan pupuk dan pestisida atau saprodi yang berasal dari alam dan tidak menggangu ekosistem alam itu sendiri.
Secara garis besar, keungulan pertanian organik itu juga dapat dikategorikan kepada tiga manfaat seperti dari sisi ekonomi, ekologi dan sosial. Kalau kita kaji lebih mendalam seperti dari sisi ekonomi maka sistem organik ini mampu menimalkan biaya produksi jika dibandingkan dengan pertanian dengan sistem konvensional. Logikanya, biaya pembelian pupuk, pestisida dan saprodi lainnya dapat ditekan serendah mungkin, karena cendrung dibuat sendiri oleh petani. Apabila biaya produksi tersebut mampu ditekan maka dengan sendirinya, margin pendapatan bagi petani dapat ditingkatkan atau dengan kata lain para petani organik memiliki peluang pendapatan yang lebih besar ketimbang petani sistem konvensional. Terlebih lagi dari fakta di lapangan harga produk organik di pasaran cendrung lebih tinggi ketimbang pola konvensional. Maka dari kalkulasi demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan dua keuntungan itu maka hasil yang diperoleh petani organik pada setiap musim tanam bakal lebih besar.
Sementara itu, kalau ditelusuri dari sisi ekologi tentu lebih bermanfaat sistem organik ketimbang konvensional sebab, kedua pola itu saling bertolak belakang dalam memperlakukan input yang digunakan untuk proses bertani. Secara umum dampak positif pertanian organik bagi lingkungan diantaranya memulihkan kondisi tanah yang terlanjur rusak akibat pemakaian pupuk atau pestisida buatan dengan demikian biologi dan kimia tanah yang selama ini rusak bakal diperbaiki. Maka dengan memakai sistem organik secara tak langsung akan menjaga kelestarian sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebab dengan pola ini pengolahan tanah mendorong peningkatan kandungan bahan organik tanah serta meminimalisir terjadinya erosi yang berdampak pada sifat fisik tanah.
Sisi positif lain dari ekologi dari pertanian organik adalah, menjaga serta melestarikan keanekaragaman hayati, Sebab sistem ini tak hanya menghindari pengunaan pestisida sintetis namun juga mampu menciptakan keanekaragaman hayati. Diantara tatacara pertanian organik adalah rotasi jenis tanaman, tumpang sari dengan cara ini bakal menciptakan keanekaragaman yang banyak bagi berbagai spesies mulai dari jamur mikroskopis hingga binatang yang relatif lebih besar. Disamping itu pertanian organik juga tidak mengunakan organisme hasil rekayasa genetika dengan alasan keamanan, kesehatan dan sosial. Adapun pengaruh positif lain yang bakal diperoleh dengan sistem organik adalah, meminimalisir bentuk polusi akibat aktivitas pertanian, seperti polusi udara akibat pengunaan pestisida, pencemaran air akibat residu bahan kimia, karena dari pengalaman, residu pupuk dan pestisida sintetis serta bakteri penyebab penyakit seringkali ditemukan di sistem perairan.
Keuntungan lain adalah ramah lingkungan karena menggunakan pupuk kompos, ataupun pupuk kandang yang keseluruhannya berasal dari alam. Di samping itu mampu memanfaatkan limbah karena dalam pelaksanaanya sistem petanian ini mampu mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah menjadi pupuk organik. Kotoran ternak, jerami dan limbah pertanian lainnya yang selama ini dianggap limbah, justru menjadi bahan yang mempunyai nilai sebagai sumber nutrisi dan bahan organik bagi pertanian organik.
Maka secara hakikatnya, pertanian organik mendidik para petani untuk berdikari, yakni berdiri di atas kaki sendiri dan tidak bergantung kepada para suplayer yang senantiasa mengisi kebutuhan petani konvensional. Seperti halnya para penyalur bibit varietas unggul yang merupakan hasil rekayasa genetika dan hanya diproduksi oleh lembaga-lembaga tertentu, penyalur pupuk sintetis dan pestisida yang juga diproduksi oleh pihak lain. Dari kesemuanya itu, tujuan mulia untuk “memerdekakan” petani dari biaya produksi yang terus menerus mengalami kenaikan bakal dapat diatasi.

Posting Komentar

0 Komentar