Sokola Rimba "Butet Manurung"



PENGEMBANGAN MASYARAKAT AGRIBISNIS



“SOKOLA RIMBA PENGALAMAN BELAJAR BERSAMA ORANG RIMBA”


1.      PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Butet Manurungadalah seorang innovator tulen yang telah memberikan pengabdian total bagi anak-anak Rimba dan anak-anak yang luput dari perhatian sekolah formal lainnya, seorang wanita yang memberikan pendidikan secara alternative kepada suku orang rimba di Bukit Dua Belas, Hutan Nasional di Jambi, Sumatra dan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Dalam buku berjudul "The Jungle School" Butet banyak mengisahkan perjuangannya selama rentang waktu ia bergabung dengan Warung Informasi Konservasi (Warsi) dan kemudian mendirikan Sokola.
Yang membuat saya tertarik mengangkat tokoh ini untuk dalam makalah ini karena dia seorang wanita kota rendah hati yang berani masuk bertarung di rimba para kaum primitif hanya sekedar untuk meningkatkan taraf pendidikan anak-anak di perkampungan yang masih terbelakang sementara Butet sendiri dari kalangan orang berada.
Ia terkenal atas perjuangannya dan usahanya untuk membawa suku yang terisolasi / buta huruf menjadi suku yang maju dengan cara mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Buku hasil karyanya merupakan salah satu buku yang mampu menginspirasi dan menggugah ketersadaran kita lebih memaknai hidup. Memberi sesuatu dengan tulus tanpa mengharapkan mendapatkan keuntungan.
1.2  MASALAH
Memberikan pengajaran kepada orang-orang rimba bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihadapi, karena orang rimba selalu menganggap kedatangan orang luar sebagai pihak yang ingin merusak adat. Mereka sangat tertutup pada dunia luar, walaupun dunia luar jauh lebih maju, orang rimba merasa telah cukup dengan kehidupan mereka di hutan.
Terlalu banyak kendala yang harus dihadang oleh Butet untuk mendirikan Sokola bagi orang rimba. Butet berangkat dari ketidaktahuan mencoba mengenal orang rimba secara lebih dalam dengan cara tinggal dan hidup ditengah-tengah mereka. Butet dituntut kreatif menggunakan segala cara agar bisa mendekati mereka, hal ini disebabkan karena adanya anggapan orang rimba bahwa mereka tidak butuh baca tulis serta adat istiadat yang tidak memperbolehkan mereka diajar oleh perempuan.
Selain masalah budaya orang rimba yang belum mau terbuka dengan dunia luar, Butet juga dihadapkan dengan masalah ekonomi dimana ia mengajar Orang Rimba tanpa bayaran dan tanpa pasokan konsumsi. Begitu pula waktu mendirikan Sokola, dengan modal dari kantong sendiri dan sumbangan teman-temannya.  
 2.      PROSES PENYUSUNAN GERAKAN

Memasuki ranah kehidupan Orang Rimba sepertinya tidaklah terlalu menyulitkan Butet. Biar memilih hidup menghindar dari modernitas dan menggantungkan diri semata-mata pada apa yang disediakan hutan, Orang Rimba cukup terbuka terhadap Orang Terang (orang yang tinggal di desa atau kota).

Yang menyulitkan Butet adalah mengajak anak-anak Rimba belajar. Satu bulan pertama, Butet, yang merasa sudah dapat mengajak anak-anak belajar, melakukan satu kesalahan. Tawarannya agar mereka ikut bersekolah ditolak mentah-mentah. Si Butet pun dicuekin sendirian. Di rombong lain, Orang Rimba dengan tegas mengatakan sekolah tidak ada dalam adat Orang Rimba. Para warga menolak kehadiran Warsi dan Butet karena tidak ingin adat mereka dirusak dengan pendidikan yang dibawa Orang Terang.
Pengalaman Butet ini juga merupakan satu bukti bahwa dia telah mengenalkan model pola pikir kepada suku-suku rimba yang tidak seperti lazimnya. Biasanya para aktivis LSM selalu mengenalkan nilai-nilai baru dengan dalih pendampingan terhadap suku-suku yang terancam punah.
Orang Rimba menjual hasil hutan kepada orang luar, tapi mereka tidak tahu seandainya ditipu. Mereka tidak bisa baca-tulis, apalagi menghitung. Tampaknya, Butet melihat celah yang satu ini. Dia lantas mengajak suku-suku rimba untuk mengenal baca-tulis agar mereka tidak mudah dibodohi.
Dengan tekun, dia meyakinkan Orang Rimba agar mereka memiliki wawasan yang luas supaya mampu memahami sumber permasalahan hidup secara kritis. Butet pun menawarkan sekolah kepada mereka.
Setiap perjuangan selalu melewati aral yang melintang. Butet hampir saja putus asa karena OR sudah sinis duluan mendengar kata “sekolah.” Perasaan gengsi, dan mungkin curiga, sudah tertanam di benak para Orang Rimba.
Rupanya kesalahan pendekatan dan strategi yang dilakukan para aktivis LSM yang jadi biangnya. Mereka menerapkan program pendidikan untuk para Orang Rimba tanpa memahami situasi batin, norma-norma adat, dan dan sistem sosial yang berlaku bagi masyarakat rimba. Niatan yang pada mulanya baik justru berbalik dengan disikapi secara sinis.
Mungkin ajakannya kepada mereka untuk bersekolah menjadi kesalahan yang teramat mahal harganya. Namun, di tengah-tengah situasi kritis, sebuah pemikiran cemerlang acapkali menyusup di dalam benak.
Butet berusaha melepaskan segala teori dan formalitas akademik demi menyelamatkan masyarakat rimba yang hampir punah itu. Jadilah konsep pembelajaran kritis yang tidak perlu teori muluk-muluk dan formalitas basa-basi. Bagi Butet, tujuan sekolah tidak untuk mengubah tata nilai adat setempat, namun untuk meningkatkan profesionalisme kerja.
Ajakan Butet kepada orang-orang rimba itu justru menjadi batu sandungan baginya. Orang-orang rimba merasa gengsi ketika harus belajar kepada orang luar, apalagi kepada seorang perempuan seperti Butet. Ditambah lagi, kesalahan fatal telah dilakukan oleh para aktivis LSM sebelum Butet yang memperkenalkan sistem pembelajaran formal kepada orang-orang rimba.
Butet mengenalkan baca-tulis kepada anak-anak rimba tidak seperti lazimnya para guru yang merasa sok paling tahu. Dia memang jadi guru, tetapi pada saat yang bersamaan dia adalah murid bagi anak-anak rimba.
Baru setelah delapan bulan keluar-masuk hutan, berkunjung ke rombong-rombong berbeda, kegigihannya mulai membuahkan hasil. Butet menemukan cara memulai pelajaran membaca dan berhitung lewat permainan. Sampai akhirnya anak-anak itu bersemangat belajar membaca dan berhitung.
Inilah sebenarnya metode pembelajaran partisipatif seperti yang pernah diterapkan oleh Paulo Freire. Dalam proses pembelajaran partisipatif, pola interaksi antara guru dan murid tidak bersifat formal. Butet malah bertelanjang kaki dan kadang hanya mengenakan kain kemben. Tidak ada instruksi ini dan itu. Juga tidak ada ceramah.
Yang ada hanyalah keterlibatan aktif antara guru dan murid. Status guru seakan-akan lebur menjadi seorang sahabat yang baik bagi murid-muridnya. Seperti Butet yang tengah mendidik anak-anak rimba, dia senantiasa siap menjadi murid bagi mereka.
Sokola Rimba merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan pendidikan ala rimba. Sistem dan metode pendidikan yang fleksibel tetapi berorientasi pada pengembangan kualitas anak membuat anak-anak merasa nyaman. Tidak ada batasan terhadap aktivitas keseharian anak, mereka bisa bermain dan membantu keluarga tanpa terganggu oleh kegiatan belajar dan tak jarang ditemukan proses belajar berlangsung hingga malam hari.
Totalitas dan loyalitas pada mimpi untuk memberdayakan Orang rimba merupakan rangkaian perjuangan panjang. Tak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan tetapi mencoba untuk masuk lebih dalam yaitu menyadarkan orang rimba akan potensi dan eksistensi mereka sebagai orang rimba yang hidup di hutan. Pekerjaan besar lainnya merubah ketergantungan hidup mereka terhadap hutan.


 3.      GAGASAN
Butet Manurungadalah seorang innovator tulen yang telah memberikan pengabdian total bagi anak-anak Rimba dan anak-anak yang luput dari perhatian sekolah formal lainnya, seorang wanita yang memberikan pendidikan secara alternative kepada suku orang rimba di Bukit Dua Belas, Hutan Nasional di Jambi, Sumatra dan beberapa daerah di Indonesia lainnya.
Ia terkenal atas perjuangannya dan usahanya untuk membawa suku yang terisolasi/ buta huruf menjadi suku yang maju dengan cara mengajarkan membaca, menulis dan berhitung. Bagaikan simbiosis mutualisme, Butet tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada orang-orang rimba namun ia juga mendapat pelajaran bagaimana bertahan hidup di hutan oleh orang rimba.
Pengembangan masyarakat adalah inisiatif masyarakat dalam proses tindakan sosial untuk memperbaiki kondisi hidupnya(Christenson and Robinson, 1989). Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang disajikan disini bukan merupakan catatan “how to do it”, tetapi untuk menyatakan bahwa penerapan Pengembangan Masyarakat  harus mengikuti kondisi struktur, budaya, kehidupan ekologis, dan proses perkembangan masyarakat itu.
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pembelajaran yang dilakukan sebagai proses atau bagian dari program pembangunan atau pengembangan masyarakat, biasanya diikuti oleh peserta orang dewasa sehingga pendidikan masyarakat biasa disebut Pendidikan Orang Dewasa (POD) atau adult education. Pendidikan masyarakat merupakan jenis pendidikan non-formal (di luar sekolah). Fasilitator infomobilisasi bekerja di dalam jenis pendidikan ini.
Pembelajaran masyarakat menurut komunikasi pembangunan partisipatif merupakan proses pengembangan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Bagaimana komunikasi dapat memberdayakan? Komunikasi dialogis di antara para pemangku kepentingan di dalam suatu komunitas, akan membangun proses partisipatif dalam pengembangan program. Partisipasi masyarakat ini tidak cukup hanya diartikan secara instrumentalis. Partisipasi perlu diperluas juga menjadi partisipasi dalam proses-proses tatapemerintahan desa untuk mengembangkan keterbukaan, akuntabilitas, dan kepemimpinan lokal yang bersih dan demokratis sehingga terjadi sebuah tata pemerintahan desa yang baik (good village governance).
Sistem dan metode pendidikan yang fleksibel tetapi berorientasi pada pengembangan kualitas anak membuat anak-anak merasa nyaman. Tidak ada batasan terhadap aktivitas keseharian anak, mereka bisa bermain dan membantu keluarga tanpa terganggu oleh kegiatan belajar dan tak jarang ditemukan proses belajar berlangsung hingga malam hari.
Tujuan dari pembelajaran yang diberikan oleh Butet adalah meningkatnya keberdayaan orang rimba. Agar mereka tidak ditipu oleh pihak-pihak luar karena tidak dapat membaca, menulis dan berhitung. Hal ini lah yang sering dimanfaatkan oleh orang luar untuk meraih keuntungan yang tinggi dari mereka semua dengan cara membeli hasil hutan mereka dengan harga yang sangat murah. Oleh karena inilah Butet mengambil sikap untuk memberikan pengetahuan yang cukup supaya orang rimba tidak lagi di bodohi oleh pihak luar.
Pemberdayaan (empowering) artinya adalah meningkatkan kekuatan atau posisi tawar masyarakat agar mereka bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta ikut menentukan dan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pihak lain dan berpengaruh terhadap dirinya. Pemberdayaan adalah sebuah konsep yang terkait dengan kekuasaan (power).
Pada Teori Kognitif  dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan steruktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mepengaruhi keberhasilan siswa.
Ada tiga bentuk-bentuk implementasi belajar yang dipakai dan diterapkan oleh Butet dalam kegiatannya di Sokola Rimba yang berhasil, yaitu :
  1. Pengajaran Berbasis Aktivitas, pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Anak (siswa) belajar sambil bekerja. Dengan bekerja mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan aspek-aspek tingkah laku lainnya, serta mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat.
  2.  Pengajaran Berbasis Lingkungan, Lingkungan adalah sesuatu yang ada di alam sekitar yang memiliki makna dan atau pengaruh tertentu kepada individu. Lingkungan (environment) sebagai dasar pengajaran adalah faktor tradisional yang mempengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang penting.
  3. Problem-basic Learning, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan berbagai masalah terutama yang terkait dengan aplikasi materi pembelajaran di dalam kehidupan nyata. Selama siswa melakukan kegiatan pemecahan masalah, guru berperan sebagai tutor yang akan membantu mereka mendefinisikan apa yang mereka tidak tahu dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memahami atau memecahkan masalah.
Dengan kreatifnya butet dalam melakukan pendekatan dan metode pembalajaran yang tepat ini dapat menarik minat masyarakat rimba untuk belajar dan menuntut ilmu. Materi pelajaran yang diberikan pun sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat tersebut. Bukan berdasarkan kurukulum sesuai dengan sekolah lain pada umumnya. Sehingga dengan demikian masyarakat rimba tersebut memiliki keberdayaan dan mampu untuk melindungi dirinya dari orang luar yang sering menipu dan membodoh-bodohi mereka.

4.      PELAJARAN
Dari buku "The Jungle School" ditulis oleh Butet berdasarkan pengalamannya menjadi fasilitator pendidikan untuk Orang Rimba, yang tinggal di Hutan Bukit Dua Belas, Jambi, pada September 1999 sampai 2005, kita dapat memetik banyak pelajaran tentang hidup, tidak hanya dari aktivitas butet saja, tapi juga dari orang rimba itu sendiri.
Ternyata Orang Rimba tidak pernah mengenal kekerasan, apalagi sampai membunuh sesama. Mereka juga sangat santun dan menghormati para tamu, sekalipun berasal dari “Orang Luar.” Hal ini di dasarkan pada tradisi luhur dan sistem sosial orang rimba yang penuh toleransi.
Kita juga dapat belajar bersyukur dari kehidupan orang rimba, mereka merasa telah cukup dengan kehidupan bersahaja di dalam rimba. Meskipun mereka menggantungkan hidup dari sumberdaya yang ada di rimba tapi mereka tidak pernah serakah terhadap alam dan tetap menjaga kelestarian alam.
Belajar dari pengalaman Butet, kita menemukan arti pendidikan yang sesungguhnya. Butet telah melakukan kerja besar yang menghasilkan karya besar dalam menyadarkan suku-suku rimba di pedalaman Jambi dan Riau. Lewat karya besar ini, Butet juga telah menyadarkan kita akan arti pendidikan yang sesungguhnya.
Adapun yang dapat diteladani dari kisah Butet adalah kesungguhannya menjadi pendidik. Pertama bergabung dengan Warsi, ia hanya bergaji Rp 500 ribu per bulan. Saat keluar dari Warsi, ia kembali ke hutan dan mengajar Orang Rimba tanpa bayaran dan tanpa pasokan konsumsi. Begitu pula waktu mendirikan Sokola, dengan modal dari kantong sendiri dan sumbangan teman-temannya.
Perjuangan butet dalam melewati aral melintang yang ditemuinya menuntut Butet untuk harus berfikir kreatif dalam melakukan pendekatan dan menentukan strategi yang tepat. Dalam melakukan pendekatan Butet berusaha melepaskan segala teori dan formalitas akademik demi menyelamatkan masyarakat rimba.
Konsep pembelajaran kritis yang tidak perlu teori muluk-muluk dan formalitas basa-basi. Bagi Butet, tujuan sekolah tidak untuk mengubah tata nilai adat setempat, namun untuk meningkatkan profesionalisme kerja. Untuk meningkatkan produktivitas kerja, orang-orang rimba lebih membutuhkan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Sistem pembelajaran dengan metode partisipatif seperti yang pernah diterapkan oleh Paulo Freire, pola interaksi antara guru dan murid tidak bersifat formal. Butet malah bertelanjang kaki dan kadang hanya mengenakan kain kemben untuk berbaur agar diantara mereka tidak sekat yang membatasi. Tidak ada instruksi ini dan itu. Juga tidak ada ceramah yang ada hanyalah keterlibatan aktif antara guru dan murid. Status guru seakan-akan lebur menjadi seorang sahabat yang baik bagi murid-muridnya.
Buku hasil karyanya merupakan salah satu buku yang mampu menginspirasi dan menggugah ketersadaran kita lebih memaknai hidup. Memberi sesuatu dengan tulus tanpa mengharapkan mendapatkan keuntungan.
5.      DAFTAR PUSTAKA

http://www.sokola.org/

Posting Komentar

0 Komentar