Cyber extension tidak hanya sebagai nama sebuah website, tapi lebih dimaknai sebagai suatu program terobosan dalam penyediaan informasi pertanian melalui media online.
Mulai tahun 2009, Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian telah memfasilitasi media online yang dinamakan cyber extension. Layanan informasi tersebut awalnya beralamat di www.cyberextension.web.id yang kemudian berubah menjadi http://cybex.deptan.go.id. Perubahan tersebut dimaksudkan agar layanan informasi mudah diingat dan memberi ruang gerak yang lebih leluasa terhadap program cyber extension yang digagas oleh Kementerian Pertanian. Cyber Extension tidak lagi hanya sebagai nama sebuah website, tapi lebih dimaknai sebagai suatu program terobosan dalam penyediaan informasi pertanian melalui media online.
HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN CYBER EXTENSION
Ada beberapa masalah/hambatan terkait dengan pengembangan cyber extension yaitu adanya keterbatasan sarana dan prasarana internet yang dikuasai oleh penyuluh dan petani yang ditunjukkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a) Kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyuluh.
b) Masih terbatasnya petani yang menguasai internet.
c) Sulit melakukan evaluasi terhadap pemanfaat informasi maupun dampak informasi yang disebarkan.
d) Rendahnya kemampuan penyuluh dalam menuangkan pengetahuan yang dimiliki kedalam bentuk tulisan.
e) Terbatasnya dukungan anggaran untuk pengelolaan cyber extension.
Selain hal-hal tersebut, masih ada beberapa hambatan dalam aplikasi tenologi, informasi dan Komunikasi (TIK) guna mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan yang berhasil diidentifikasi secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Belum adanya komitmen dari manajemen di level stakeholders manajerial. Yang ditunjukkan dengan adanya kebijakan yang belum konsisten.
2. Kemampuan tingkat manajerial pimpinan di level stakeholders (khususnya dilingkup pemda dan dinas kabupaten) sebagian besar masih belum memiliki kapasitas di bidang teknologi informasi, sehingga banyak sekali proses pengolahan input yang seharusnya dapat difasilitasi dengan aplikasi tenologi informasi tidak diperhatikan dan bahkan cenderung dihindari penerapannya.
3. Sebagian besar level manajerial belum mengetahui secara persis konsep aplikasi teknologi informasi, sehingga berimplikasi pada rendahnya aplikasi teknologi informasi untuk mendukung operasionalisasi peralatan tugas sehari-hari.
4. Infrastruktur penunjang belum mendukung operasi pengelolaan dan penyebaran informasi pertanian yang berbasis teknologi informasi, seperti pasokan listrik yang masih kurang mamadai, perlengkapan hardware tidak tersedia secara mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak memadai, serta jaringan koneksi internet yang masih sangat terbatas (khususnya untuk wilayah remote area).
5. Biaya untuk operasional aplikasi teknologi informasi dan pengelolalaan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah khususnya sangattidak memadai terutama untuk biaya langganan ISP untuk pengelolaann informasi berbasis internet.
6. Infrastruktur tetelkomunikasi yang belum memadai dan mahal. Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal.
7. Tempat akses informasi melalui aplikasi teknologi informasi sangat terbatas. Beberapa tempat di Luar Negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya diperpustakaan umum. Di Indonesia hal ini seharusnya dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan dan tempat umum lainnya.
8. Sebagai usia produktif dan yang bekerja di lembaga subsistem jaringan informasi si inovasi pertanian tidak berbasis teknologi informasi, sehingga semua pekerjaan jalan seperti biasanya dan tidak pernah memikirkan efisiensi atau pemanfaatkan teknologi informasi yang konsisten.
9. Dunia teknologi informasi terlalu cepat berubah dan berkembang, sementara sebagian besar sumber daya manusia yang ada di lembaga subsistem jaringan informasi inovasi pertanian cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seringkali kapasitas SDM yang ada tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi cenderung menjadi lambat dalam menyelesaikan tugas.
10. Kemampuan kapasitas SDM dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya level penyuluh pertanian atau fasilitator tingkat desa sebagai motor pendamping pelaksana pembangunan pertanian di daerah masih sangat terbatas.
11. Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan petani atau pengguna akhir dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam akses informasi inovasi pertanian dan mempromosikan produknya ke pasar yang lebih luas.
12. Dari segi sosial budaya, kultur berbagi masih belum membudaya. Kultur berbagi (sharing) informasi dan pengetahuan untuk mempermudah akses dan pengelolaan informasi masih belum banyak diterapkan oleh anggota lembaga stakeholders di samping itu, kultur mendokumentasikan informasi data juga belum lazim, khususnya untuk kelembagaan yang berada di daerah.
Melihat tantangan, hambatan dan peluang cyber extension sebagai sarana penyuluhan, tentunya akan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan cyber extension kedepan sehingga diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pengguna khususnya para penyuluh dan petani di pedesaan.
0 Komentar