Pengembangan ternak sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, peternak skala kecil dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan, memfasilitas serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh dan halal. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong. Perlu dirumuskan model pengembangan dan kelembagaan usaha ternak sapi potong yang tepat, berbasis masyarakat dan secara ekonomi menguntungkan. Semua sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk peternakan yang berkualitas, terjangkau dan berdayasaing dengan produk sejenis dari luar negeri sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak (Mulyo dkk, 2012).
Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur yang tegas dan formal serta mempunyai satu fungsi atau lebih. Menurut UU Nomor 16 tahun 2006 kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk pelaku utama.
Pengembangan peternakan sapi potong dalam satu kawasan merupakan salah satu cara dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Sebagian terbesar dari usaha peternakan berada pada skala kecil yang diusahakan oleh rumah tangga peternak. Usaha ini umumnya bersifat sampingan dan dengan intensitas pengusahaan masih rendah. Berdasarkan kondisi tersebut maka ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong yaitu : 1) beternak sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi; 2) memiliki kelenturan usaha dan teknologi yang luas dan luwes; 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi; dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan (Suryana, 2009).
Potensi wilayah termasuk salah satu dasar pertimbangan dalam pengembangan peternakan sapi potong. Menurut Mulyono dkk (2012) pengembangan industri peternakan sapi potong mempunyai prospek yang sangat baik dengan memanfaatkan sumber daya lahan maupun sumber daya pakan berupa limbah pertanian dan perkebunan.
Menurut Santosa (2012) masalah utama peternakan ruminansia di Indonesia yang paling konservatif hingga kini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak dan alam serta sangat sedikit campur tangan manusia. Ekonomi masih jauh dari pertimbangan peternak sapi potong yang hanya memelihara secara tradisional. Penerapan teknologi dalam pemeliharaan sapi potong sangat terbatas karena masih rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu ternak sapi potong kebanyakan hanya digunakan sebagai ternak kerja di sawah, hal ini mengakibatkan jarak beranak menjadi cukup panjang, sehingga kontribusinya sebagai penghasil daging rendah.
Dalam pengembangan ternak sapi potong diperlukan adanya sistem penyebaran dan pengembangan yang rasional, sehingga diharapkan adanya keserasian laju pertumbuhan. Hal yang harus dilaksanakan adalah membuat gambaran tentang potensi wilayah untuk mengetahui kepastian jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan, sehingga sentra-sentra produksi ternak dapat berkembang secara maksimal (Riady, 2004).
Indikator yang menunjukkan bahwa suatu wilayah mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan sapi potong antara lain : potensi agroklimat sangat mendukung, baik bagi ternak sapi potong lokal maupun sapi eks-impor; sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak seperti lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan ternak tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis ternak sapi potong yang dipelihara (Riady, 2004).
Menurut Santoso (1991) beberapa kajian yang perlu diperhatikan dalam pemilihan wilayah untuk lokasi peternakan adalah keadaan geografi, topografi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan air, bahan pakan, aspek pasar dan kebijakan pemerintah. Jumlah populasi sesuai kepadatan ternak dan luas areal yang mendukung pengembangan peternakan sapi potong, sarana dan prasarana yang mendukung, tingkat produktivitas, efisiensi usaha dan adanya peluang pasar.
Ditambahkan Daryanto (2009) dalam lingkungan usaha peternakan terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan : 1) faktor lingkungan makro meliputi iklim, topografi, ekonomi-finasial, teknologi, sosial budaya dan kebijakan umum pemerintah; dan 2) faktor lingkungan mikro meliputi semua sifat teknis dari faktor produksi seperti lahan, modal, tenaga kerja, reproduksi dan pengolahan. Ragam Peran Penyuluh Pertanian Menurut Ahli
Menurut Riady (2004) usaha budidaya ternak sapi potong pada sebagian besar peternak masih bersifat sambilan dengan skala usaha yang rendah yaitu kurang dari 10 ekor. Orientasi peternak untuk menghasilkan ternak yang sesuai permintaan pasar masih rendah. Hanya sedikit peternak sapi potong yang mengembangkan sistem dan usaha berbasis sapi potong.
Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur yang tegas dan formal serta mempunyai satu fungsi atau lebih. Menurut UU Nomor 16 tahun 2006 kelembagaan petani, pekebun, peternak nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk pelaku utama.
Pengembangan peternakan sapi potong dalam satu kawasan merupakan salah satu cara dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Sebagian terbesar dari usaha peternakan berada pada skala kecil yang diusahakan oleh rumah tangga peternak. Usaha ini umumnya bersifat sampingan dan dengan intensitas pengusahaan masih rendah. Berdasarkan kondisi tersebut maka ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong yaitu : 1) beternak sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi; 2) memiliki kelenturan usaha dan teknologi yang luas dan luwes; 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi; dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan (Suryana, 2009).
Potensi wilayah termasuk salah satu dasar pertimbangan dalam pengembangan peternakan sapi potong. Menurut Mulyono dkk (2012) pengembangan industri peternakan sapi potong mempunyai prospek yang sangat baik dengan memanfaatkan sumber daya lahan maupun sumber daya pakan berupa limbah pertanian dan perkebunan.
Menurut Santosa (2012) masalah utama peternakan ruminansia di Indonesia yang paling konservatif hingga kini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak dan alam serta sangat sedikit campur tangan manusia. Ekonomi masih jauh dari pertimbangan peternak sapi potong yang hanya memelihara secara tradisional. Penerapan teknologi dalam pemeliharaan sapi potong sangat terbatas karena masih rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu ternak sapi potong kebanyakan hanya digunakan sebagai ternak kerja di sawah, hal ini mengakibatkan jarak beranak menjadi cukup panjang, sehingga kontribusinya sebagai penghasil daging rendah.
Dalam pengembangan ternak sapi potong diperlukan adanya sistem penyebaran dan pengembangan yang rasional, sehingga diharapkan adanya keserasian laju pertumbuhan. Hal yang harus dilaksanakan adalah membuat gambaran tentang potensi wilayah untuk mengetahui kepastian jumlah ternak sapi potong yang masih dapat dikembangkan, sehingga sentra-sentra produksi ternak dapat berkembang secara maksimal (Riady, 2004).
Indikator yang menunjukkan bahwa suatu wilayah mempunyai potensi untuk pengembangan peternakan sapi potong antara lain : potensi agroklimat sangat mendukung, baik bagi ternak sapi potong lokal maupun sapi eks-impor; sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak seperti lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan ternak tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air dan jenis ternak sapi potong yang dipelihara (Riady, 2004).
Menurut Santoso (1991) beberapa kajian yang perlu diperhatikan dalam pemilihan wilayah untuk lokasi peternakan adalah keadaan geografi, topografi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan air, bahan pakan, aspek pasar dan kebijakan pemerintah. Jumlah populasi sesuai kepadatan ternak dan luas areal yang mendukung pengembangan peternakan sapi potong, sarana dan prasarana yang mendukung, tingkat produktivitas, efisiensi usaha dan adanya peluang pasar.
Ditambahkan Daryanto (2009) dalam lingkungan usaha peternakan terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan : 1) faktor lingkungan makro meliputi iklim, topografi, ekonomi-finasial, teknologi, sosial budaya dan kebijakan umum pemerintah; dan 2) faktor lingkungan mikro meliputi semua sifat teknis dari faktor produksi seperti lahan, modal, tenaga kerja, reproduksi dan pengolahan. Ragam Peran Penyuluh Pertanian Menurut Ahli
Menurut Riady (2004) usaha budidaya ternak sapi potong pada sebagian besar peternak masih bersifat sambilan dengan skala usaha yang rendah yaitu kurang dari 10 ekor. Orientasi peternak untuk menghasilkan ternak yang sesuai permintaan pasar masih rendah. Hanya sedikit peternak sapi potong yang mengembangkan sistem dan usaha berbasis sapi potong.
Baca Juga :
0 Komentar