Perencanaan pembangunan menyangkut dengan masa depan yang kondisinya belum dapat diketahui sama sekali. Namun demikian, untuk keperluan penyusunan perencanaan pembangunan yang baik dan terukur, masa depan tersebut perlu diperkirakan kondisinya agar strategi dan kebijakan pembangunan dapat ditentukan secara lebih tepat dan terarah. Karena itu, penyusunan proyeksi atau prediksi pembangunan menjadi sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam penyusunan sebuah rencana pembangunan. Sedangkan penyusunan prediksi tersebut memerlukan teknik dan metode perhitungan tertentu yang masing-masingnya mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Teknik Prediksi Trend
Prediksi dengan menggunakan Teknik Regresi Trend didasarkan pada sudut pandang bahwa perkiraan masa datang akan sangat ditentukan oleh kondisi dan kenyataan yang terjadi pada masa lalu. Bila kenyataan masa lalu menunjukkan bahwa perkembangan suatu aspek pembangunan cukup cepat, maka prediksi masa datang juga akan menunjukkan perkembangan dengan tendensi yang hampir bersamaan.
Teknik prediksi trend dapat dilakukan dalam dua bentuk:
- Prediksi trend linier. Bila distribusi data yang digunakan ternyata tersebar dalam bentuk garis lurus.
- Prediksi trend non linier. Bila terjadi sebaliknya, yaitu data yang digunakan ternyata terdistribusi dalam bentuk garis tidak lurus.
- Tahap pertama: melakukan estimasi koefisien dengan menggunakan teknik regresi. Setelah dilakukan penaksiran perlu diketahui dulu apakah hasil estimasi regresi tersebut dapat digunakan dengan melihat kepada tingkat signifikansi dari hasil tes statistic. Paling kurang ada 3 jenis tes statistic yang lazim digunakan, yaitu: t-Statistik, F-Statistik, dan Coefisien Of Determination (R2).
- Tahap kedua: melakukan perkiraan atau prediksi untuk masa datang sesuai dengan jumlah periode waktu yang diinginkan dalam perencanaan, apakah 1 tahun, 5 tahun untuk prediksi RPJM, atau 20 tahun untuk RPJP.
Contoh prediksi terhadap PDRB Sumatera Barat berdasarkan harga konstan tahun 2000, selama periode 10 tahun yakni dari tahun 2002 sampai tahun 2011, data dalam Rp juta.
Ŷt= 22,276 + 1,833 t R2= 0,99 ………… (11.1)
(35,952)
Dimana angka di dalam kurung adalah nilai t-Statistik dan R2 adalah koefisien determinasi. Disini terlihat bahwa hasil estimasi yang diperoleh adalah mempunyai tingkat signifikansi sangat tinggi (R2) yang mendekati angka 100. Ini berarti bahwa hasil estimasi regresi ini cukup representative dan dapat digunakan dalam melakukan prediksi ke depan. Karena regresi ini dilakukan dengan menggunakan data selama 10 tahun (2002-2011), maka proyeksi akan dapat dilakukan untuk tahun 2012 (t=11), 2013 (t=12), 2014 (t=13), 2015 (t=14), dan 2016 (t=15) sebagai berikut:
Dimana angka di dalam kurung adalah nilai t-Statistik dan R2 adalah koefisien determinasi. Disini terlihat bahwa hasil estimasi yang diperoleh adalah mempunyai tingkat signifikansi sangat tinggi (R2) yang mendekati angka 100. Ini berarti bahwa hasil estimasi regresi ini cukup representative dan dapat digunakan dalam melakukan prediksi ke depan. Karena regresi ini dilakukan dengan menggunakan data selama 10 tahun (2002-2011), maka proyeksi akan dapat dilakukan untuk tahun 2012 (t=11), 2013 (t=12), 2014 (t=13), 2015 (t=14), dan 2016 (t=15) sebagai berikut:
Ŷ11= 22,276 + 1,833 (11) = 42,439 untuk tahun 2012
Ŷ12= 22,276 + 1,833 (12) = 44,272 untuk tahun 2013
Ŷ13= 22,276 + 1,833 (13) = 46,105 untuk tahun 2014
Ŷ14= 22,276 + 1,833 (14) = 47,938 untuk tahun 2015
Ŷ15= 22,276 + 1,833 (15) = 49,771 untuk tahun 2016
Selanjutnya, jika regresi dilakukan dengan metode Non Linear (exponential), maka prosedur untuk melakukan proyeksi juga sangat mirip. Dari data yang sama hasil regresi Non Linear Trend diperoleh sebagai berikut:
Ln Ŷt = ln 3,150 + 0,057 t R2= 0,99
( 95,337)
Karena regresi dilakukan dalam persamaan logaritma, maka sebelum dilakukan prediksi perlu ditarik antilog atau antiln terhadap koefisien regresi yang diperoleh, sehingga persamaannya menjadi:
Ŷt = 23,336 (1,059) t R2= 0,99
(22,44)
Dengan demikian, prediksi untuk tahun 2012-2016 dapat dilakukan dengan cara yang sama sebagai berikut:
Ŷ11= 23,336 (1,059) 11 = 43,659 untuk tahun 2012
Ŷ12= 23,336 (1,059) 12 = 46,218 untuk tahun 2013
Ŷ13= 23,336 (1,059) 13 = 48,926 untuk tahun 2014
Ŷ14= 23,336 (1,059) 14 = 51,793 untuk tahun 2015
Ŷ15= 23,336 (1,059) 15 = 54,828 untuk tahun 2016
Dari kedua metode di atas, tampak bahwa ada perbedaan nilai daei kedua hasil prediksi tersebut. hal ini disebabkan karena perbedaan persamaan yang dijadikan sebagai dasar perhitungan regresi. Untuk memilih hasil mana yang lebih baik secara statistic, dapat dilakuakn dengan 2 cara berikut:Sebelum melakukan estimasi gambarkan terlebih dahulu sebaran data, jika data menyebar tidak beraturan maka kecenderungan trend adalah non linier, sedangkan jika data menyebar secara beraturan maka kecenderungan trend adalah linier. Untuk contoh ini dapat dilihat bahwa sebaran data cenderung beraturan sehingga sebaiknya gunakan trend linier untuk prediksi.
Jika pola sebaran sulit untuk ditentukan apakah menyebar atau terpola secara khusus, maka perlu dihitung standar deviasi dari nilai estimasi dari kedua bentuk trend selama periode yang diamati. Kemudian pilihlah hasil perhitungan dengan standar deviasi yang lebih kecil, agar bias prediksi juga dapat diminimalisasi.
Teknik Prediksi Sebab dan Akibat
Untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada teknik predikasi trend, muncul teknik prediksi lain yang didasarkan pada hubungan sebab dan akibat dalam sebuah fungsi. Dalam hal ini, prediksi masa datang didasarkan pada hubungan sebab dan akibat yang terjadi di masa lalu. Dengan demikian, faktor yang.dijadikan sebagai dasar utama prediksi tidak lagi hanya waktu tetapi oleh berbagai variable yang berkaitan erat dengan unsure yang akan diprediksi.
Misalnya produksi padi ditentukan 3 faktor utama seperti penambahan luas areal tanam, penggunaan pupuk, dan jumlah tenaga kerja yang dipakai. Sehingga didapatkan formulasi:
Ԛp = α + β1 L+ β2 I + ε
Dimana Ԛp adalah nilai produksi sector industry , L melambangkan jumlah tenaga kerja digunakan, I adalah nilai investasi yang ditanamkan. Sedangkan α, β1, dan β2 adalah koefisien regresi dan ε adalah variable kemelestan. Sama halnya dengan teknik prediksi trend, tahap pertama yang perlu dilakukan adalah menghitung estimasi regresi. Setelah hasil regresi diperoleh, maka sebelum menggunakannya untuk melakukan prediksi, terlebih dahulu perlu dilakukan pengetesan terhadap tingkat signifikansi dari hasil regresi tersebut.
Sebagai contoh, contoh perhitungan digunakan data industry Sumatera Barat selama kurun waktu 10 tahun (1996-2005) dengan variable terikat adalah nilai produksi dan variable bebas adalah jumlah tenaga dan nilai investasi. Hasil estimasi dengan model regresi linier adalah:
Ôšt = 14.000.000 + 102,7 L + 0,91 I R2 = 0,64
(2,221) (0,159) Ftest= 2,47
Dari hasil estimasi di atas tampak bahwa variable investasi ternyata kurang berpengaruh terhadap peningkatan nilai produksi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh masih belum efisiennya penggunaan dana investasi. Sehingga jika akan dilakukan prediksi variable ini sebaiknya ditinjau ulang sebagai variable penentu.Teknik Prediksi Rata-Rata Bergerak
Untuk dapat melakukan prediksi dengan Model Sebab-Akibat ini, diperlukan pula melakukan proyeksi terhadap nilai dari masing-masing Independent Variabel selama periode prediksi. Teknik proyeksi yang digunakan dapat dalam bentuk Regresi Trend Linier atau Non-Linear. Menggunakan hasil proyeksi Independent Variabel ini, maka prediksi untuk 3 tahun ke depan (2008-2010) dapat dilakukan dengan memasukkan nilai estimasi trend ke dalam persamaan regresi yang diperoleh.
Tahun | Tenaga Kerja (L) dalam orang | Investasi (I) dalam Rp. 000 |
2008 | 173.233 | 3.120.823 |
2009 | 174.931 | 3.417.677 |
2010 | 176.645 | 3.741.578 |
Pertumbuhan (%) | 0,98 | 9,48 |
Sehingga didapatkan:
Ôš2008 = 14.000.000 + 102,7 (173.233) + 0,91 (3.120.823) = 34.630.974
Ôš2009 = 14.000.000 + 102,7 (174.931) + 0,91 (3.147.677) = 35.075.500
Ôš2010 = 14.000.000 + 102,7 (176.645) + 0,91 (3.741.578) = 35.546.258
Sama halnya dengan prediksi regresi trend, kualitas dari suatu hasil prediksi akan sangat ditentukan seberapa jauh prediksi tersebut kemungkinan mengandung kemelesetan. Namun demikian, kelemahan prediksi dengan teknik regresi trend dan sebab-akibat adalah bilamana data yang digunakan ternyata berfluktuasi sangat tinggi dan tidak beraturan sebagaimana pernah terjadi krisis ekonomi Indonesia tahun 1997-1999. Dalam hal ini, besar kemungkinan hasil prediksi akan jauh dari kondisi riil yang terjadi kemudian karena prediksi dengan metode trend didasarkan pada nilai sudut (slope) garis regresi yang kemungkinan menimbulkan perkiraan yang berlebihan (over estimate). Karena itu, sebaiknya prediksi ini sebaiknya digunakan bila fluktuasi data yang akan digunakan tidak terlalu besar dan bersifat stabil.
Di samping itu, untuk metode sebab-akibat ini perlu juga diperhatikan munculnya masalah Serial Correlation, Multicollenarity, dan Heteroscedasticity. Untuk mendapatkan hasil estimasi dan prediksi yang baik, maka ketiga masalah ini seharusnya tidak muncul. Hal ini dikenal dengan istilah BLUE (Best Linier Unbiased Estimation). Namun demikian, masalah Multicollenarity sangat sulit untuk dihindari karena viariabel-variabel ekonomi sebenarnya tidak mungkin untuk benar-benar independen, sehingga kehadiran masalah Multicollenarity masih dapat diterima jika tingkat korelasinya tidak terlalu besar.
Bila seandainya teknik prediksi trend dan model sebab dan akibat tidak dapat memberikan hasil yang meyakinkan, dapat pula dipergunakan teknik yang lain yaitu metode rata-rata bergerak (Moving Average). Teknik ini lazim digunakan bila fluktuasi data antar waktu cukup tinggi sehingga penggunaan metode trend kurang dapat menggunakan hasil yang logis dan cenderung tidak stabil. Karena itu diperlukan alternative teknik prediksi yang lebih sesuai dengan kondisi data yang ada, yaitu teknik prediksi rata-rata bergerak.
Bila seandainya teknik prediksi trend dan model sebab dan akibat tidak dapat memberikan hasil yang meyakinkan, dapat pula dipergunakan teknik yang lain yaitu metode rata-rata bergerak (Moving Average). Teknik ini lazim digunakan bila fluktuasi data antar waktu cukup tinggi sehingga penggunaan metode trend kurang dapat menggunakan hasil yang logis dan cenderung tidak stabil. Karena itu diperlukan alternative teknik prediksi yang lebih sesuai dengan kondisi data yang ada, yaitu teknik prediksi rata-rata bergerak.
Prediksi ini didasarkan pada nilai rata-rata beberapa tahun yang lalu kemudian digerakkan ke muka untuk melakukan prediksi untuk periode waktu selanjutnya. Nilai rata-rata tersebut dapat dilakukan untuk periode 3 atau 5 tahun tergantung dari tingkat kemelesetan yang diperkirakan akan terjadi. Hasil prediksi dengan menggunakan teknik ini akan cenderung menjadi lebih rendah dan stabil dibandingkan dengan teknik prediksi trend yang didasarkan pada tingkat pertumbuhannya yang terjadi di masa lalu.
Formulasinya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ft = ∑[(At-i) / w
Dimana Ft adalah nilai prediksi pada tahun t1 At-I adalah data actual rata-rata dari beberapa tahun sebelumnya biasa 3 atau 5 tahun dan w adalah periode waktu rata-rata. Untuk memperoleh prediksi yang lebih tepat, sebaiknya dilakukan prediksi dua kali baik untuk periode waktu rata w = 3 dan w = 5. Kemudian hasilnya dipilih berdasarkan nilai koefisien Root Mean Square Errors (RMSE) yang terkecil di antara keduanya.
Sebagai contoh perhitungan dengan menggunakan data PDRB Provinsi Sumatera Barat tahun 2007-2011 dengan harga konstan. Sehingga dapat dihitung prediksi 5 tahun ke depan dengan menggunakan metode rata-rata bergerak.
Tahun | Data PDRB (dalam miliar) | Prediksi PDRB (dalam miliar) |
2007 | 32.915 | |
2008 | 35.177 | |
2009 | 36.683 | |
2010 | 38.860 | |
2011 | 41.276 | |
2012 | 36.982 | |
2013 | 37.797 | |
2014 | 38.320 | |
2015 | 38.647 |
Namun demikian, kelemahan teknik ini adalah karena metode ini memberikan penimbang rata-rata yang sama dalam menghitung nilai rata-rata untuk setiap observasi. Sedangkan kenyataan menunjukkan bahwa data-data untuk beberapa tahun terakhir akan lebih menentukan nilai prediksi di masa mendatang. Untuk mengatasi kelemahan ini, muncul teknik yang lebih baik yang dinamakan sebagai Exponential Smoothing:
Ft + I = w At + (I-w) Ft
Dimana Ft + I adalah nilai prediksi untuk satu periode mendatang. A adalah data pada periode 1, Ft prediksi pada periode t dan w adalah periode waktu rata-rata.
Ft = 27.735 dan w= 0,5, maka nilai prediksi adalah:
F2 = 0,5 (41.276) + (1-0,5) (36.982) = 39.129
F3 = 0,5 (41.276) + (1-0,5) (37.797) = 39.537
D. Teknik Prediksi Dekomposisi
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam melakukan prediksi dengan menggunakan metode trend (Time Series) dalam jangka panjang sering kali data yang dipakai mengandung variasi musim (Seasonal Variation) dan fluktuasi siklus (Cyclical Fluctuation) yang cukup besar. Disamping itu, variasi musim dan fluktuasi siklus ini terjadi secara berulang – ulang dalam periode waktu tertentu. Karena itu, dalam melakukan prediksi yang lebih tepat, kedua unsur variasi dan fluktuasi ini perlu dipertimbangkan secara eksplisit dalam model yang akan digunakan.
Model prediksi yang dapat memasukkan secara eksplisit aspek variasi musim dan fluktuasi siklus adalah Metode Dekomposisi (Decomposition Method) sebagaimana yang dijelaskan dalam Makridakis dan Wheelwright (1978) serta Gaynor dan Kirkpatrick (1994). Secara umum prinsip metode Dekomposisi dapat ditampilkan secara fungsional sebagai berikut:
Dan diprediksi terhadap nilai = , dimana :
Trt = analisis trend
Snt = variasi musim
Clt = fluktuasi siklus usaha yang semuanya berubah menurut waktu
Pada dasarnya teknik Time series dapat dikelompokkan atas dua yaitu:
1. Additive Model
Pada Additive Model diasumsikan data pada waktu tertentu merupakan penjumlahan dari komponen berikut ini:
Jika data yang digunakan tidak mengandung salah satu komponen tersebut maka nilainya menjadi nol. Dalam Additive Model ini, unsur variasi musim dan siklus usaha adalah bebas terhadap unsur trend sehingga perubahannya bersifat konstan.
Prediksi dengan menggunakan Metode Dekomposisi dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu : Tahap pertama menghitung Centered Moving Average (CMA) dari L yang merupakan jumlah musim dalam satu tahun. CMA dihitung dengan cara :
CMAt = trend + siklus
Tahap kedua, kurangkan CMAt = (Trt + Clt) dari data dan selisihnya adalah sama dengan variasi musim yaitu Snt + , yaitu:
(Trt + Snt + Clt + ) – (Trt + Cl) = Snt +
Tahap ketiga, hilangkan unsur kesalahan ( dari Snt + dengan jalan mengurangi nilai rata – rata untuk setiap musim. Setelah nilai rata – rata diperoleh, kurangkan dari nilai Snt + di atas dan diperoleh nilai Snt. Tahap keempat, hilangkan pengaruh musim dari data dengan jalan mengurangi data tersebut dengan perkiraan nilai perubahan musim (Snt) diperoleh pada tahap ketiga :
Tahap kelima, lakukan kembali regresi dengan menggunakan data yang telah dikoreksi dengan pengaruh musim sebagaimana telah dilakukan pada tahap keempat. Hasil dari regresi ini akan meghasilkan estimasi persamaan yang telah bebas dari pengaruh musim (Seasonal Variation). Berdasaran kelima tahap tersebut, maka prediksi dengan Metode Dekomposisi dengan Additives Model dapat dilakukan dengan persamaan berikut:
Belum terdapat formula khusus untuk menentukan interval yang dapat ditolerir dari prediksi pada model ini. Namun, secara intuitif, interval tersebut dapat ditentukan berdasarkan standar error dari model regresi trend pada model yang sudah memperhitungkan pengurus variasi musim. Dengan demikian interval dari prediksi Yt dapat dihitung dengan:
Yt + tα/2 se (faktor koreksi)
Dimana Se adalah standar error dari estimasi (√MSE) dari regresi trend yang memenuhi syarat di mana faktor koreksi adalah:
Faktor koreksi =
2. Multiplicative Model
Model ini sering disebut juga Ratio to Trend Method, diasumsikan sebagai berikut: Ytadalah gabungan dari berbagai unsur termasuk faktor kesalahan (error) yang bersifat random dan unsur musim untuk setiap tahunnya adalah sama. Langkah – langkah yang perlu ditempuh dalam melakukan proses perhitungan adalah sama dengan Additive Model. Perbedaan terletak pada perhitungan tahap akhir, dimana prediksi nilai Yt adalah perkalian antara Trt (Snt) (CIt) atau Tr6 (Sn6) (CI6).
E. Teknik Prediksi ARMA
Istilah ARMA merupakan singkatan dari dua metode statistik yaitu Autorregressive Moving Average. Metode autoregressive (AR) pada dasarnya adalah sama dengan Metode trend (Time Series), dimana prediksi didasarkan pada tingkat pertumbuhan (Slope dari Garis Regresi). Namun terdapat sedikit perbedaan yaitu Autoregressive Model tidak memformulasikan persamaan dengan fungsi waktu, tetapi dalam bentuk persamaan dengan menggunakan “time lack” pada masing – masing data. Dengan demikian model persamaannya adalah sebagai berikut:
Yt = α + β1Yt-1 + β2Yt-2 + ......... + βkYt-k + εt
Dimana, Yt adalah data variabel tertentu pada tahun t. Secara sistematis, model ini dapat digabungkan dengan Model Moving Average untuk menghasilkan model baru ARMA yang dapat memberikan hasil prediksi masa datang yang lebih tepat dari metode sebelumnya. Secara teknik statistik, model ARMA merupakan kombinasi fungsi linier dari observasi tahun sebelumnya dengan faktor kesalahan (error) periode sekarang dan masa yang akan datang. Maka, model ARMA dapat ditulis sebagai berikut:
Zt = δ + λ1Zt-1 + λ2Zt-2 + ......... + εt – θ1εt-1 – θ2εt-2
Dimana, Zt adalah variabel Yt yang sudah stationer, sedangkan δ, λ, dan θ adalah kontanta. Variabel Ztdikatakan stationer bilamana penjumlahan dari koefisien Autoregressive model selalu kurang dari 1, yaitu:
λ1 + λ2+ ......... λt < 1
F. Teknik Pertumbuhan Ekonomi Harrod Domar
Unsur penentu utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi (I) dan teknologi yang digunakan dalam melakukan kegiatan produksi. Jenis teknologi yangg digunakan tercemin dari nilai koefisien ICOR (Inremental Capital – Output Ratio) yang digunakan pada daerah atau negara bersangkutan.
Mengikuti formula sebagaimana disarikan oleh Todaro (2000), maka model Harrod-Domar dapat disimpulkan tingkat pertumbuhan yang stabil (Warranted rate of Growth) dapat ditentukan melalui formula berikut:
∆Y/Y = s/k
Dimana, Y adalah PDB pada tingkat nasional atau PDRB pada tingkat daerah, s = ∆S/∆Y yaitu Marginal Propensity to Save (MPS) dan k = ∆K/∆Y yaitu Incremental Capital – output Ratio (ICOR). Persamaan diatas menyatakan bahwa laju pertumbuhan yang stabil ditentukan oleh rasio antara kehendak untuk menabung (MPS) dengan besarnya kebutuhan terhadap kapital untuk menghasilkan satu unit output (ICOR). Selain itu, formula tersebut dapat digunakan sebagai formula untuk melakukan prediksi pertumbuhan ekonomi yang direncanakan.
Contoh:
Data yang tersedia menunjukkan bahwa tingkat MPS rata – rata adalah 0,20 setiap tahunnya, sedangkan ICOR adalah 3, maka dengan memasukkan pada persamaan tersebut diperoleh prediksi pertumbuhan ekonomi yang sebaiknya adalah:
∆Y/Y = s/k = 0,20/3 = 6%
Perhitungan tingkat pertumbuhan yang stabil ini memberikan implikasi bahwa bilamana tingkat pertumbuhan yang dapat direalisasikan berada di bwah tingkat ini karena keterbatasan dana investasi, maka besar kemungkinan tingkat pengangguran akan meningkat. Hal ini terjadi karena tambahan lapangan kerja yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tidak dapat mengimbangi pertumbuhan jumlah pencari kerja. Sebaliknya bilamana laju pertumbuhan yang dapat direalisasikan ternyata lebih besar, maka pemerintah harus bersiap – siap untuk menghadapi kemungkinan kenaikan tingkat inflasi. Hal ini terjadi karena pertambahan jumlah uang beredar yang didorong oleh peningkatan investasi tidak dapat mengimbangi pertumbuhan produksi yang masih relatif rendah.
Teknik prediksi pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan investasi berdasarkan model Harrod – Domar ini mengandung kelemahan karena investasi dianggap satu-satuya variabel penentu pertumbuhan ekonomi. Padahal tenaga kerja juga merupakan variabel lainnya yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah.
0 Komentar