ANALISIS PROGRAM PTT (PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) PADI SAWAH

PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, lahan sawah beririgasi masih tetap menjadi andalan bagi produksi padi nasional. Program intensifikasi yang dicanangkan sejak tiga dekade yang lalu, pada awalnya telah mampu meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara nyata. Tetapi sejak dekade terakhir, produktivitas padi cenderung melandai dan bahkan ada yang menurun di beberapa lokasi.
Pengelolaan tanaman dan sumber daya secara terpadu yang sering diringkas Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan holistik yang semakin populer dewasa ini. Pendekatan ini bersifat partisipatif yang disesuaikan dengan kondisispesifik likasi sehingga bukan paket teknologi yang cocok untuk kondisi setempat yang dapat meningkatkan hasil gabah dan mutu beras serta menjaga kelestarian lingkungan.
Tujuan program PTT adalah mempercepat diseminasi inovasi teknologi padi sawah melalui demplot varietas unggul baru (VUB) padi sawah, pelatihan, temu lapang dan penyebaran media cetak teknologi padi sawah dalam mendukunng program SLPTT padi sawah, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan petani dan produksi padi.

TINJAUAN PUSTAKA
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah merupakan sebuah inovasi untuk menunjang peningkatan produksi padi. Hal ini dilatarbelakangi karena beras sebagai bahan pangan yang berasal dari padi merupakan bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sebagai bahan pangan pokok utama padi memegang posisi yang strategis untuk dikembangkan.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani padi sawah dengan menggabungkan berbagai komponen teknologi yang saling menunjang dan dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak agar memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Pengelolaan Tanaman Terpadu atau PTT padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dari segi hasil dan kualitas melalui penerapan teknologi yang cocok dengan kondisi setempat (spesifik lokasi) serta menjaga kelestarian lingkungan. Dengan meningkatnya hasil produksi diharapkan pendapatan petani akan meningkat.
Sebagai salah satu upaya maupun inovasi untuk meningkatkan produktivitas tanaman penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah didasarkan pada empat prinsip, yaitu :
v  Terpadu ; bukan merupakan teknologi maupun paket teknologi tetapi merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu.
v  Sinergis ; memanfaatkan teknologi pertanian yang sudah dikembangkan dan diterapkan dengan memperhatikan unsur keterkaitan sinergis antar teknologi.
v  Spesifik lokasi ; memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi pertanian setempat.
v  Partisipatif ; petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kemampuan petani dan kondisi setempat melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.
Dalam penerapan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah tidak lagi dikenal rekomendasi untuk diterapkan secara nasional karena petani secara bertahap dapat memilih sendiri komponen teknologi yang paling sesuai dengan kemampuan petani dan keadaan setempat untuk diterapkan dengan mengutamakan efisiensi biaya produksi dan komponen teknologi yang saling menunjang untuk diterapkan.
Komponen teknologi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah dirakit berdasarkan kajian kebutuhan dan peluang (KKP) yang akan mempelajari permasalahan yang dihadapi petani dan cara-cara mengatasi permasalahan tersebut dalam upaya meningkatkan produksi sehingga komponen teknologi yang dipilih akan sesuai dengan kebutuhan setempat.
PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan.
Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT. Komponen teknologi dasar PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
v  Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan bernilai ekonomi tinggi yang sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani
v  Benih bermutu dan berlabel/bersertifikat
v  Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
v  Pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).
Sedangkan komponen teknologi pilihan adalah teknologi-teknologi penunjang yang tidak mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik lokasi maupun kearifan lokal dan telah terbukti serta berpotensi meningkatkan produktivitas. Secara spesifik lokasi dan kearifan lokal komponen teknologi ini dapat diperoleh dari sumber daya alam yang tersedia ataupun dari pengalaman petani sendiri. Komponen teknologi pilihan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah meliputi :
v  Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
v  Penggunaan bibit muda (< 21 HSS)
v  Tanam dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1 – 3 bibit perlubang
v  Pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar legowo)
v  Pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah
v  Pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien
v  Pengendalian gulma dengan landak atau gasrok
v  Panen dan penanganan pasca panen yang tepat.
Perpaduan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan produktivitas padi dengan didasarkan pada pendekatan yang partisipatif.


ANALISIS PROGRAM DISEMINASI PTT PADI

Program PTT Padi sebagai salah satu inovasi unggulan Badan Litbang Pertanian juga menjadi salah satu bahan diseminasi di BPTP. Beberapa BPTP, terutama wilayah sentra produksi padi di Jawa, Sumatera dan Sulawesi telah secara intensif mengalokasikan daya dan upayanya untuk mendiseminasikan PTT Padi. Beberapa staf pengkaji dan penyuluh di BPTP secara intensif telah mengikuti berbagai pelatihan tentang PTT Padi langsung dari BB Padi. Produk dari pelatihan tersebut dapat dilihat dari beragam bahan diseminasi yang dihasilkan dan telah disebarkan beberapa BPTP di wilayahnya. Namun kalau mau jujur, kita melihat bahwa proses adopsi di tingkat petani belumlah seperti yang diharapkan dan terjadi keberagaman pemahaman tentang PTT padi itu sendiri. Dua fenomena ini dapat dijadikan landasan dalam memotret proses diseminasi yang telah dilaksanakan selama ini.

Penafsiran tentang PTT dan Koordinasi Kegiatan
Salah satu isu yang mencuat dalam proses diseminasi PTT padi adalah masih beragamnya penafsiran pengkaji dan penyuluh di BPTP tentang PTT itu sendiri. Sebagai gambaran ketika membaca buku panduan yang dihasilkan beberapa BPTP di Jawa misalnya, terdapat perbedaan pengkategorian PTT Padi sebagai teknologi dan tentang jumlah teknologi yang diterapkan. Di beberapa lokasi para pengkaji BPTP menyebutkan PTT padi sebagai teknologi. Hal lain terkait dengan jumlah teknologi yang diterapkan. Karena para pengkaji dan penyuluh sudah terbiasa dengan paket teknologi, pada berbagai program intensifikasi sebelumnya, mereka menjadi kesulitan untuk menerangkan kepada penyuluh atau aparat dinas terkait tentang PTT yang tidak dikategorikan sebagai paket teknologi tetapi lebih pada pendekatan. Para pengkaji umumnya mengalami kesulitan untuk menyatakan apakah suatu pendekatan PTT sudah diterapkan, bila hanya sebagian dari teknologi yang direkomendasikan diterapkan petani. Pada ekstrim lain, ada pengkaji yang menyatakan pendekatan PTT sudah diterapkan meskipun hanya satu jenis teknologi yang diterapkan, katakanlah hanya pengaturan jarak tanam legowo yang diterapkan.
Keberagaman pemahaman ini dapat dimengerti, dan utamanya hal ini disebabkan belum digarapnya dengan baik bahan diseminasi tentang inovasi ini bagi para pengkaji dan penyuluh yang ada di BPTP. Adalah sesuatu hal yang tidak mudah untuk membedakan antara paket teknologi dan pendekatan bagi para pengkaji dan penyuluh di BPTP bila mereka tidak secara intensif terlibat dalam pengkajian dan pelatihan tentang PTT padi. Beranjak dari pengalaman penyiapan bahan diseminasi pemupukan spesifik lokasi, ternyata bahwa penyiapan bahan diseminasi yang komunikatif dan dapat dipahami secara seragam oleh semua kelompok sasaran di BPTP saja memerlukan proses interaksi dan iterasi yang intensif antara sumber teknologi dan kelompok sasaran. Beranjak dari kenyataan itu dapat dikatakan bahwa bahan diseminasi dari berbagai inovasi yang dihasilkan Balit/Puslit/BB/LRPI untuk kelompok sasaran yang berbeda belum digarap dengan baik.
Persoalan lain terkait dengan diseminasi PTT Padi ini adalah masalah koordinasi kegiatan antar Puslit/BB/LRPI/Balit dan BPTP. Dari penelusuran yang dilakukan BBP2TP, hanya beberapa BPTP yang sudah dapat secara mandiri mendiseminasikan pendekatan PTT pada penyuluh dan dinas di wilayahnya. Pada sebagian lainnya tingkat ketergantungannya pada BB Padi sebagai sumber inovasi masih sangat besar. Bila dilihat dari tahapan proses penelitian, pengkajian dan diseminasi hasil, kondisi ini tentu tidak dikehendaki, karena ketergantungan BPTP menjadi sangat besar terhadap sumber inovasi. Disinilah koordinasi antara sumber inovasi dan BBP2TP diperlukan, terutama dalam upaya menjadikan BPTP dapat memahami inovasi yang ada secara maksimal, sehingga pengkaji dan penyuluh di BPTP dapat melaksanakan proses diseminasi di wilayahnya secara mandiri dan penuh kepercayaan diri.

Proses Perencanaan Diseminasi di BPTP
Secara umum terlihat bahwa para pengkaji dan penyuluh di BPTP belum memahami dengan baik hakikat dari diseminasi, kebanyakan diseminasi dipahami sekadar upaya pemberian informasi tentang teknologi, dan bukan dilihat sebagai media untuk terjalinnya komunikasi yang seimbang secara timbal balik antara kelompok sasaran dan sumber informasi. Hal ini berpengaruh pada proses perencanaan kegiatan diseminasi itu sendiri. Pada beberapa BPTP diseminasi hanya dipandang sebagai upaya penyebaran informasi dan itu dapat dilakukan dengan hanya meringkas bahan-bahan yang telah mereka dapat dari Puslit/Balit menjadi bahan cetakan atau bentuk sumber informasi lain yang siap dibagikan. Akibatnya di beberapa BPTP kegiatan diseminasi identik dengan pencetakan beragam bahan diseminasi.
Perencanaan kegiatan diseminasi PTT Padi dan inovasi lainnya di lingkup BPTP masih dilihat sebagai bagian dari proses perencanaan internal, dan pihak luar hanya terbatas sebagai nara sumber yang dimintakan pandangan atau pendapatnya. Seharusnya perencanaan kegiatan diseminasi diawali oleh suatu kajian yang komprehensif tentang need assessment dengan melibatkan secara penuh semua kelompok sasaran secara aktif. Pada saat need assessment ini diidentifikasi dengan baik ragam kelompok sasaran serta kebutuhannya akan informasi. Berangkat dari hasil identifikasi inilah disusun perencanaan kegiatan diseminasi yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Sebagai gambaran dapat dibaca laporan dari proses perencanaan diseminasi di suatu provinsi (BBP2TP, 2007) :
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses perencanaan diseminasi adalah Kepala BPTP, Bagian Perencanaan, Yantek, Tim Monev, Ketua Kelji dan para Pengkaji (peneliti dan Penyuluh). Sesuai dengan sistem perencanaan di BPTP, pada awalnya Ketua Kelji dengan para Pengkaji merencanakan diseminasi sebagai tindak lanjut dari kegiatan pengkajian yang termuat di dalam Rencana Strategis (Renstra) BPTP, sehingga rencana diseminasi tersebut secara implisit atau eksplisit sudah merupakan bagian dari Renstra. Kegiatan diseminasi teknologi dan informasi yang merupakan hasil dari pengkajian, diserahkan kepada Bagian Perencanaan untuk diolah dan dibahas dalam rapat perencanaan tingkat BPTP, dengan memperhatikan saran Tim Monev dan arahan Kepala BPTP yang memiliki otoritas keputusan terhadap rencana diseminasi yang akan dibawa ke tingkat Litbang Pertanian untuk memperoleh alokasi pembiayaan, sesuai dengan pagu biaya yang disediakan APBN tahun bersangkutan.
Banyak faktor yang menyebabkan kondisi di atas, salah satunya adalah karena kurang berfungsinya komisi teknologi di tingkat provinsi yang dulunya merupakan patner BPTP dalam proses perencanaan. Selain itu dengan otonomi di tingkat kabupaten, BPTP masih memiliki keterbatasan untuk dapat menjangkau/ melayani semua kabupaten yang ada dan belum tersusun mekanisme yang baik dalam need assessment ini, terutama untuk tingkat kabupaten.

Kesiapan Pengkaji dan Penyuluh di BPTP serta Minimnya Keterlibatan Penyuluh di Kabupaten/Kecamatan
Kesiapan pengkaji dan penyuluh BPTP dalam penyampaian inovasi PTT padi pada kegiatan diseminasi sangat menentukan keberhasilan kegiatan tersebut. Idealnya pada saat PTT padi masih dalam tahap pengkajian, BPTP sudah memiliki tim pengkajian yang kuat, terdiri dari tenaga peneliti dan penyuluh yang kompak dan seimbang. Pada saat awal pengkajian yang menjadi motor penggeraknya adalah pengkaji, sedangkan penyuluh sebagai pendamping selalu mengikuti perkembangan proses pengkajian ini, sehingga pada tahap mendekati akhir pengkajian, penyuluh harus menjadi motor penggerak dan menempatkan peneliti sebagai pendamping dalam kegiatan diseminasi hasil pengkajian.
Komposisi ideal ini memang agak sulit diciptakan karena proporsi antara pengkaji dan penyuluh di BPTP masih belum seimbang. Sebagai gambaran untuk BPTP Sumatra Utara (Sumut) pada saat ini, jumlah pengkaji sebanyak 24 orang, sementara penyuluhnya hanya 6 orang, dan umumnya sudah berumur di atas 50 tahun. Di beberapa BPTP seperti Banten jumlah penyuluhnya hanya satu orang, bahkan ada yang tidak mempunyai penyuluh sama sekali. Kondisi ini jelas menyulitkan dalam kegiatan pengkajian dan diseminasi PTT padi. Dari penyuluh yang ada di BPTP yang umumnya adalah limpahan dari tenaga Balai Informasi Pertanian (BIP) lama, umumnya tingkat ketrampilan mereka dalam mempersiapkan bahan diseminasi sudah semakin menurun. Hal itu disebabkan banyak dari mereka yang telah terimbas kegiatan pengkajian dan menjadi terbatas keterlibatan mereka dalam kegiatan diseminasi. Selain itu pelatihan untuk peningkatan kemampuan mereka dalam mempersiapkan bahan diseminasi semakin jarang dilakukan.
Persoalan lain dalam kegiatan diseminasi PTT padi di beberapa BPTP adalah minimnya keterlibatan para penyuluh di tingkat Kabupaten/Kecamatan dalam berbagai kegiatan diseminasi yang dilaksanakan BPTP. Keterlibatan di sini diartikan bahwa penyuluh tidak secara aktif dilibatkan dalam setiap kegiatan diseminasi yang dilaksanakan BPTP. Beberapa BPTP selalu mengungkapkan bahwa penyuluh terlibat dalam kegiatan diseminasi, namun dalam prakteknya para penyuluh ini hanya diundang sebagai pihak yang melihat apa yang didiseminasikan oleh pengkaji BPTP pada petani, mereka tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan diseminasi yang dilaksanakan BPTP. Idealnya, para penyuluh di Kabupaten/Kecamatan merupakan pelaku utama dalam kegiatan diseminasi yang dilaksanakan BPTP, dan ini nampaknya terkait dengan manajemen anggaran yang memungkinkan para penyuluh bisa secara aktif terlibat dalam kegiatan ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dalam komponen kegiatan diseminasi yang dilaksanakan BPTP, sangat minim komponen biaya yang dialokasikan untuk keterlibatan PPL di berbagai tingkat, bagian terbesar dari anggaran tersebut adalah perjalanan untuk pengkaji yang ada di BPTP, sehingga aktivitas ini lebih banyak dilaksanakan secara langsung oleh pengkaji yang ada di BPTP. Penyuluh tidak terlibat secara langsung sehingga mereka mempunyai pemahaman yang terbatas terhadap teknologi yang didiseminasikan, dan pada ujungnya mereka tidak punya bekal yang cukup ketika berhadapan langsung dengan petani.

TANTANGAN KE DEPAN

Ke depan ada tiga hal yang menjadi tantangan dalam diseminasi PTT padi, pertama makin besarnya tuntutan dari pengguna akhir ini terhadap akuntabilitas dari inovasi yang disampaikan. Untuk itu perhitungan secara cermat output, dampak dan manfaat dari inovasi PTT padi mutlak diperlukan. Kedua adalah makin beragamnya media komunikasi yang tersedia, dan terjadi pergeseran dalam akses kelompok sasaran terhadap media komunikasi yang ada. Media audio visual akan semakin dominan diakses dan mempengaruhi penyerapan informasi oleh kelompok sasaran. Pada sisi lain efektivitas dari media ini dalam menyampaikan informasi tentang PTT padi secara lengkap dan utuh tentu perlu dilihat lagi, sehingga keterpaduan dengan pola pendekatan konvensional seperti gelar teknologi masih tetap diperlukan. Hal ketiga adalah sistem insentif untuk tenaga yang terlibat dalam kegiatan diseminasi PTT padi. Menurut Mundy (2002) selama ini BPTP dan Badan Litbang secara umum lebih mengutamakan diseminasi dalam bentuk tatap muka, salah satunya terkait dengan alasan kesejahteraan. Pertemuan tatap muka itu menghasilkan uang kehadiran rapat, honor panitia, nara sumber dan lain sebagainya yang berujung pada tambahan penghasilan bagi semua yang terlibat.

UPAYA YANG HARUS DILAKUKAN
Agar proses diseminasi program PTT padi dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna, maka identifikasi kebutuhan pengguna terhadap pendekatan ini menjadi mutlak diperlukan. Pada tingkat BPTP, dengan menetapkan kelompok sasaran secara jelas, maka proses identifikasi kebutuhan ini akan semakin mudah dilakukan. Pada tahapan lanjutan adalah menetapkan secara jelas hasil, dampak dan manfaat dari diseminasi PTT padi ini. Dalam prakteknya pemanfaatan teknologi hasil BPTP oleh masyarakat memerlukan waktu. Ada time lag sebelum petani menerapkan teknologi tersebut. Oleh karena itu di dalam penentuan indikator untuk digunakan dalam menilai hasil, manfaat dan dampak dari diseminasi perlu memasukkan unsur waktu di dalamnya. Kita tahu bahwa waktu yang diperlukan tersebut bervariasi untuk setiap pendekatan yang dilakukan. Selain tergantung pada pendekatan, karakteristik sasaran juga besar pengaruhnya dalam memberikan respon terhadap introduksi inovasi teknologi.
Indikator untuk menilai hasil, manfaat dan dampak dari diseminasi tidak dapat dibuat sama untuk semua pendekatan yang digunakan. Pendekatan diseminasi yang berupa penyebaran informasi tentu outputnya akan berbeda dengan uji coba teknologi dan pemasyarakatan teknologi. Hal itu mestinya memperhatikan juga tahapan seseorang dalam mengadopsi. Apakah hanya untuk menggugah kesadaran bahwa ada inovasi baru, untuk meyakinkan bahwa iniovasi itu menguntungkan, atau untuk menggiring sasaran menerapkan inovasi.
Adanya standarisasi terhadap bahan diseminasi PTT Padi dan akreditasi terhadap tenaga yang menyiapkan bahan diseminasi serta yang mendiseminasikannya sudah merupakan keharusan untuk jadi perhatian kita bersama. Standarisasi untuk bahan diseminasi misalnya, hal ini harus dilihat dalam kerangka kegiatan diseminasi yang spesifik lokasi. Bahan rujukan utama harusnya merupakan bahan yang sudah terstandarisasi dan variasi dalam penerapan di daerah tergantung pada kondisi dan situasi yang dihadapi BPTP di wilayahnya masing-masing dan terkait dengan perbedaan sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian seseorang penyuluh dapat saja berimprovisasi akan inovasi yang akan didiseminasikan, mengingat masyarakat yang dihadapi untuk masing-masing daerah juga berbeda. Akreditasi tenaga yang menyiapkan bahan diseminasi mendesak juga untuk dilakukan, sejalan dengan jenjang pelatihan yang perlu disiapkan untuk mereka.

PENUTUP

Perhatian Badan Litbang pertanian yang demikian besar terhadap masalah diseminasi, ternyata belum sepenuhnya didukung oleh suatu sistem perencanaan yang baik dan kesiapan SDM yang memadai. Selain itu berbagai kelembagaan terkait diluar Badan Litbang Pertanian, terutama penyuluh di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan juga belum terintegrasi pada suatu sistem diseminasi yang menunjang ke arah terbangunnya sistem diseminasi inovasi pertanian.
Beranjak dari pengalaman pada diseminasi PTT padi, diperlukan keberanian untuk melakukan beberapa perubahan yang mendasar dalam melihat pentingnya penyiapan bahan diseminasi secara baik dalam berbagai tingkatan. Untuk sampai pada hal itu diperlukan perubahan pada sistem insentif, standarisasi bahan dan akreditasi tenaga yang terlibat dalam kegiatan ini.



Posting Komentar

0 Komentar