A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan suatu perubahan, menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Manusia tanpa belajar, akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak lain juga merupakan produk kegiatan berpikir manusia-manusia pendahulunya. Tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah merupakan tuntutan kebutuhan manusia sejak lahir sampai akhir hayatnya. Dengan demikian, belajar merupakan tuntutan hidup sepanjang hayat manusia (life long learning).
Pembelajaran merupakan bagian atau elemen yang memiliki peran sangat dominan untuk mewujudkan kualitas lulusan (out put) pendidikan. Pendidikan adalah sektor yang sangat menentukan kualitas hidup suatu bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada kegagalan suatu bangsa, sebaliknya keberhasilan pendidikan juga otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa.
Permasalahan yang sering muncul dalam dunia pendidikan adalah lemahnya kemampuan peserta belajar dalam menggunakan kemampuan berpikirnya untuk menyelesaikan masalah. Peserta belajar cenderung dijejali dengan berbagai informasi yang menurut hapalan saja. Banyak sekali pengetahuan dan informasi yang dimiliki siswa tetapi sulit untuk dihubungkan dengan situasi yang mereka hadapi. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, pengetahuan mereka seperti tidak relevan dengan apa yang mereka hadapi. Ketika peserta belajar mengikuti sebuah pendidikan tiada lain untuk menyiapkan mereka menjadi manusia yang tidak hanya cerdas tetapi mampu menyelesaikan persoalan yang akan dihadapi di kemudian hari (Lidinillah, 1).
Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dapat mengembangkan cara belajar peserta belajar untuk menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi dilanjutkan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan dan mencipta serta mendapatkan, mengelola, menggunakan, dan mengkomunikasikan apa yang telaah diperoleh dalam proses belajar tersebut.
Upaya mengoptimalisasi proses pembelajaran perlu dilakukan sejak perencanaan hingga evaluasi pembelajaran. Untuk itu diperlukan adanya kemauan dan kemampuan guru dalam mengupayakan optimalisasi proses pembelajaran. Salah satu optimalisasi dalam proses pembelajaran adalah dengan menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning).
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) merupakan sebuah model pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta belajar untuk belajar (Kemdikbud,2013). Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta belajar bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).
Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang peserta belajar untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta belajar pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta belajar, sebelum peserta belajar mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta belajar yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta belajar dalam pencapaian materi pembelajaran.
Implementasi model Pembelajaran Berbasis Masalah tidak hanya dapat diterapkan pada pendidikan formal tetapi secara tidak langsung dapat ditemui dalam pendidikan non formal seperti kegiatan penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian merupakan proses pendidikan non formal yang ditujukan bagi orang dewasa dengan tujuan untuk merubah perilaku agar kehidupannya lebih baik. Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebaran informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar.
Sesuai dengan tujuan, proses pembelajaran dalam penyuluhan menghendaki retensi yang tinggi atau efek yang maksimal. Untuk memperoleh retensi yang tinggi setiap peserta belajar (petani) memerlukan belajar yang berulang. Melalui penyuluhan, bukanlah dimaksudkan agar masyarakat penerima manfaat selalu menguntungkan diri kepada petunjuk, nasehat, atau bimbingan penyuluhnya. Tetapi sebaliknya, melalui penyuluhan harus mampu dihasilkannya masyarakat yang mampu dengan upayanya sendiri mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, serta mampu mengembangkan kreativitasnya untuk memanfaatkan setiap potensi dan peluang yang diketahuinya untuk terus menerus dapat memperbaiki mutu hidupnya.
Salah satu bentuk proses pembelajaran penyuluhan pertanian adalah melalui pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) tanaman padi yang diselenggarakan sebagai implementasi Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dalam upaya memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri.
SLPTT berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani atau kelompok tani, sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok sebagai percontohan. Petani dapat belajar langsung dilapangan melalui pembelajaran dan pengahayatan langsung (mengalami, mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan, menghadapi dan memecahkan masalah pertanian). Untuk itu, sangat penting diterapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) sebagai bentuk pengungkapan dan pemecahan masalah produksi padi yang kian menurun.
2. Rumusan Masalah
Kecamatan Lembang Jaya Kabupaten Solok yang terletah di kaki gunung talang, berada pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut. Daerah ini memiliki sangat potensial dalam budidaya tanaman padi karena udara yang sejuk, tanah yang subur dan lahan yang luas. Namum kondisi wilayah yang potensial saja tidak cukup mampu untuk menghasilkan produksi padi yang optimal bahkan produksi padi di wilayah ini menurun setiap tahunnya. Banyak hal lain yang mempengaruhi produksi padi seperti perubahan iklim, adanya hama penyakit, konsidi tanah, dan kesalahan dalam pengelolaan usahatani padi.
Dalam upaya meningkatkan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri diselenggarakan SLPTT di setiap wilayah di Indonesia termasuk di Kecamatan Lembang Jaya yang memiliki 111 (seratus sebelas) kelompok tani dan salah satunya adalah kelompok tani beringn jaya. Proses belajar pada SLPTT di kelompok Tani Beringin Jaya 1 yang berada di Nagari Koto Anau Kecamatan Lebang Jaya dimulai dengan sosialisasi konsep sistem Jajar legowo menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) sebagai upaya yang dilakukan penyuluh sebagai fasilitator untuk memudahkan petani sebagai peserta belajar dalam memahami konsep SLPTT sistem jajar legowo. Dengan pemahaman konsep dasar yang baik sehingga dapat mempercepat adopsi inovasi SLPTT sistem Jajar Legowo oleh petani tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan dalam malakah ini adalah “Bagaimana penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) pada kegiatan SL PTT sistem Jajar Legowo di Kelompok Tani Beringin Jaya 1 ?”
3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada kegiatan SL PTT sistem jajar legowo di Kelompok Tani Beringin Jaya 1 serta sebagai tugas Mata Kuliah Pembelajaran Masyarakat Partisipatif pada Program Studi Ilmu Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di Program Pascasarjana Universitas Andalas.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. KONSEP MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Pada hakikatnya pembelajaran bertujuan untuk memahami dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi tetapi memberi pemahaman dan penguasaan tentang “mengapa hal ini terjadi”. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat penting dalam pembelajaran (Made Wena, 2009 : 52).
Model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri (Hmelo-Silver, 2004; Serafino & Cicchelli, 2005).
Problem Based Learning adalah kurikulum dari proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta belajar mendapatkan pengetahuan penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau mengahadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari.
Secara umum, karakteristik ( ciri – ciri ) yang tercakup dalam proses Pembelajaran Berbasis Masalah, antara lain :
a. Masalah yang digunakan sebagai awal pembelajaran
b. Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (ill-structured)
c. Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspective). Solusinya menuntut pembelajar menggunakan dan mendapatkan konsep dari beberapa materi pelajaran atau lintas ilmu ke bidang lainnya.
d. Masalah membuat pembelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru.
e. Sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning).
f. Memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci penting.
g. Pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pembelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching) dan melakukan presentasi.
Ada lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu:
· Permasalahan sebagai kajian.
· Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman
· Permasalahan sebagai contoh
· Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses
· Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik
Tujuan yang ingin dicapai dalam Model pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analistis, sistematis dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.
Hasil belajar dari pembelajaran berbasis masalah adalah peserta didik memiliki keterampilan penyelidikan, peserta didik mempunyai ketrampilan mengatasi masalah, peserta didik mempunyai kemampuan mempelajari peran orang dewasa, serta peserta didik dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan independen.
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
- Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
- Pemodelan peranan orang dewasa. Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah :
- PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
- PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
- PBL melibatkan peserta didik dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
- Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning). Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan guru.
Pembelajaran suatu materi pelajaran dengan menggunakan PBL sebagai basis model dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip berikut.
1. Konsep Dasar (Basic Concept)
Jika dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran. Lebih jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta didik memperoleh kunci utama materi pembelajaran, sehingga tidak ada kemungkinan terlewatkan oleh peserta didik seperti yang dapat terjadi jika peserta didik mempelajari secara mandiri. Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar saja, sehingga peserta didik dapat mengembangkannya secara mandiri secara mendalam.
2. Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan dalam kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai kegiatan. Pertama, brainstorming yang dilaksanakan dengan cara semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendokumentasikan secara tertulis pendapat masing-masing dalam kertas kerja.
Selain itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang kurang dikenal dalam skenario tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada peserta didik yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman yang lain. Jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis dalam permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu dalam permasalahan kelompok.
Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam kelompok untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Fasilitator memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil peserta didik. Jika tujuan yang diinginkan oleh fasilitator belum disinggung oleh peserta didik, fasilitator mengusulkannya dengan memberikan alasannya. Pada akhir langkah peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk menjembataninya. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini, maka pendefinisian masalah dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
3. Pembelajaran Mandiri (Self Learning)
Setelah mengetahui tugasnya, masing-masing peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
Di luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas untuk mengadakan pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut peserta didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus mengorganisasi informasi yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain dapat memahami relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.
4. Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Tiap kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap peserta didik menyampaikan hasil pembelajaran mandiri dengan cara mengintegrasikan hasil pembelajaran mandiri untuk mendapatkan kesimpulan kelompok. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dokumentasi akhir. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini maka dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
5. Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
Penerapan Pendekatan PBL dalam Proses Pembelajaran
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, peserta didik terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian peserta didik diminta mencatat masalah-masalah yang muncul. Setelah itu tugas guru adalah merangsang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan peserta didik untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan pendapat yang berbeda dari mereka.
Memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan peserta didik, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar diluar kelas. Peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.
Jhon Dewwy seorang ahli pendidikan kebangsaan amerika memaparkan 6 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ini :
a. Merumuskan masalah. Guru membimbing peserta untuk menetukanmasalah yang akan dipecahkan dalam proses pembelajaran walaupun sebenarnya guru telah menetapkan masalah tersebut.
b. Menganalisis masalah langkah peserta meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
c. Merumuskan hipotesis langkah peserta merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
d. Mengumpulkan data, peserta mencari dan menggambarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah
e. Pengujian hipotesis, peserta merumuskan dan mengambil kesimpulan sesuai dengan peneriman dan penolakan hipotesis yang diajukan.
f. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, peserta menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
2. KONSEP PENYULUHAN PERTANIAN
Dalam UU Nomor 16 Tahun 2006, penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Menurut Mardikanto (2009) kegiatan penyuluhan diartikan dengan berbagai pemahaman, yaitu penyebarluasan informasi, penerangan atau penjelasan, pendidikan non formal (luar sekolah), perubahan perilaku, rekayasa sosial, pemasaran inovasi (teknis dan sosial), perubahan sosial (perilaku individu, nilai-nilai, hubungan antar individu, kelembagaan), pemberdayaan masyarakat serta penguatan komunitas.
Menurut Kartasapoetra (1994), dalam perencanaan dan pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mencakup: tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan penyuluhan jangka pendek yaitu untuk menumbuhkan perubahan- perubahan yang lebih terarah dalam aktivitas usaha tani di pedesaan, perubahan-perubahan menyangkut : tingkat pengetahuan, kecakapan atau kemampuan sikap dan tindakan petani. Adapun tujuan penyuluhan pertanian jangka panjang yaitu agar tercapai peningkatan taraf hidup masyarakat petani, mencapai kesejahteraan hidup yang lebih terjamin. Tujuan ini hanya dapat tercapai apabila petani dalam masyarakat, pada umumnya telah melakukan “better farming, better business, dan better living” yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Better farming, mau dan mampu mengubah cara-cara usahataninya dengan cara-cara yang lebih baik.
b. Better business, berusaha yang lebih menguntungkan, mau dan mampu menjauhi para pengijon, lintah darat dan melakukan teknik pemasaran yang benar.
Better living, hidup lebih baik dengan mampu menghemat, tidak berfoya-foya dan setelah berlangsungnya masa panen, bisa menabung, bekerja sama memperbaiki hygiene lingkungan dan mampu mencari alternatif lain dalam hal usaha, misal men-dirikan industri rumah tangga yang lain dengan mengikutsertakan keluarganya guna mengisi kekosongan waktu selama menunggu panen berikutnya (Setiana, 2005).
Kartasapoetra (1994) menjelaskan tentang peranan penyuluh yang sangat penting bagi terwujudnya pembangunan pertanian modern yaitu pembangunan pertanian berbasis kerakyatan. Peranan penyuluh tersebut adalah 1) sebagai peneliti; mencari masukan terkait dengan ilmu dan teknologi, penyuluh menyampaikan, mendorong, mengarahkan dan membimbing petani mengubah kegiatan usahataninya dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi; 2) sebagai pendidik; meningkatkan pengetahuan untuk memberikan informasi kepada petani, penyuluh harus menimbulkan semangat dan kegairahan kerja petani agar mampu mengelola usahataninya secara lebih efektif, efisien, dan ekonomis; dan 3) sebagai penyuluh; menimbulkan sikap keterbukaan bukan paksaan, penyuluh berperan serta dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup petani beserta keluarganya. Dapat dilihat bahwa peranan penyuluh sangat berat, mengharuskannya memiliki kemampuan tinggi. Oleh karena itu kualitas penyuluh harus terus ditingkatkan sehingga mampu berperan dalam memberikan penyuluhan dan mewujudkan pembangunan pertanian.
Lippit (1961) dalam Mardikanto (2009) dalam tulisannya tentang perubahan yang terencana, (Planned Change) merinci lingkup kegiatan penyuluhan sebagai agen pembaharuan sebagaimana yang dikemukakan dalam 7 kegiatan pokok :
1. Penyadaran, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat tentang “keberadaannya”, baik keberadaanyya dalam individu dan anggota masyarakat, maupun kondisi lingkungannya.
2. Menunjukkan adanya masalah, yaitu kondisi yang tidak di inginkan yang kaitannya dengan : keadaan sumberdaya, lingkungan fisik, social budaya dan politis.
3. Membantu pemecahan masalah, sejak analisis akar-masalah, analisis alternative pemecahan masalah, serta pilihan alternative pemecahan terbaik yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi internal maupun eksternal yang dihadapi.
4. Menunjukkan pentingnya perubahan, yang sedang dan yang akan terjadi dilingkungan, baik lingkungan organisasi dan masyarakat (local, nasional,regional, dan global). Karena kondisi lingkungan terus mengalami perubahan yang semakin cepat,maka masyarakat juga harus disiapkan untuk mngantisipasi perubahan tersebut melalui “perubahan yang terencana”
5. Melakukan pengujian dan demonstrasi, sebagai bagian dan implementasi perubahan terencana yang berhasil yang dirumuskan.
6. Memproduksi dan publikasi informasi, baik yang berasal dari “luar” (penelitian, kebijakan, produsen/pelaku bisnis, dll) maupun yang berasal dari dalam. Sesuai dengan perkembangan teknologi, produk dan media publikasi yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakteristik (calon) penerima manfaat penyuluhannya.
7. Melaksanakan pemberdayaan/penguatan kapasitas, yaitu memberikan kesempatan kepada kelompok lapisan bawah untuk bersuara dan menentukan sendiri pilihan-pilihannya kaitannya dengan: aksebilitas informasi, keterlibatan dalam pemenuhan kebutuhan serta partisipasi dalam pemenuhan proses pembangunan, penguatan kapasitas local. Sedangkan yang dimaksud dengan penguatan kapasitas, menyangkut penguatan kapasitas individu, kelembagaan local, masyarakat, serta pengembangan jejaring dan kemitraan kerja.
3. KONSEP SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) SISTEM JAJAR LEGOWO
Pengelolaan Tanaman Terpadu adaalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. PTT Padi dirancang berdasarkan pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi padi yang pernah dikembangkan di indonesia, hasil penelitian menunjukkan sebagian besar lahan sawah telah mengalami kemunduran kesuburan, dan adopsi inovasi filosofi sistem intensifikasi padi (SRI) yang semula dikembangkan di Madagaskar.
Tujuan penerapan PTT Padi adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air tanaman, OPT dan iklim secara terpadu.
SLPTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajar mengajarnya dilakukan di lapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SLPTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang. Sekolah lapang seolah-olah menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan murid. Karena aspek kekeluargaan lebih diutamakan. Sehingga antara “guru dan murid” saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman.
SLPTT juga mempunyai kurikulum, evaluasi pra dan pasca kegiatan, dan sertifikat. Bahkan sebelum SLPTT dimulai perlu dilakukan registrasi terhadap peserta yang mencakup nama dan luas lahan sawah garapan, pembukaan, dan studi banding atau kunjungan lapang.
Petani peserta SLPTT diberikan kebebasan memformulasikan ide, rencana, dan keputusan bagi usahataninya sendiri. Mereka dilatih agar mampu membentuk dan menggerakkan kelompok tani dalam alih teknologi kepada petani lain. Melalui SLPTT petani peserta diharapkan terpanggil dan bertangggung jawab untuk bersama-sama meningkatkan produksi padi dalam upaya mewujudkan swasembada beras. Kebersamaan semua pihak yang terlibat dalam SLPTT merupakan faktor pendorong bagi petani dalam mengelola usahataninya.
Beberapa azas SLPTT yang perlu dipahami oleh pemandu dan petani peserta SLPTT adalah sebagai berikut : Sawah sebagai sarana belajar, belajar lewat pengalaman dan penemuan sendiri, pengkajian agroekosistem sawah, metode belajar praktis, kurikulum berdasrkan keterampilan yang dibutuhkan.
Agar tujuan dapat tercapai sesuai dengan keinginan, SLPTT hendaknya dilaksanakan berdasarkan prinsip pendidikan orang dewasa berdasrkan pengalaman sendiri. Untuk itu, materi pendidikan yang akan diberikan dalam SLPTT mencakup aspek yang diperlukan oleh kelompok tani di wilayah pengembangan PTT. Dalam kaitan itu, tiga aspek berikut perlu mendapat perhatian : aspek teknologi, keterampilan dan pengetahuan; aspek hubungan antar petani, interaksi dan komunikasi; dan aspek pengelolaan, manager di lahan usahatani sendiri.
0 Komentar