Negara dan Konflik Agraria



Studi Kasus pada Komunitas Pusat Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di Sumatera Barat

Afrizal
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas, Padang

Negara merupakan salah satu faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya. Namun pada umumnya analisis hubungan negara dengan konflik agraria tidak dibingkai dengan teori yang jelas, dan kalaupun ada pada umumnya menggunakan Teori Marxis, Teori Pluralisme Hukum dan Teori Kebijakan Publik yang mem-punyai kemampuan analisis terbatas.
Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis.
Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pi -hak, terutama hukum adat dan hukum ne-gara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka.
Teori Kebijakan Publik, yang juga banyak dipakai, menegaskan bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tetentu dari negara, seperti kebijakan pembangunan dan revolusi hijau.
Ketiga teori tersebut mempunyai penjelasan yang terbatas. Apabila menggunakan Teori Marxis, perhatian diberikan kepada konflik antar dua kelas, yaitu konflik antar kelas pemilik atau pengontrol tanah dengan kelas yang tidak memiliki tanah. Keterlibatan negara dalam konflik agraria dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi kapitalis di suatu masyarakat dimana negara berprilaku sebagai instrumen kapitalis. Teori Kebijakan Publik mengarahkan peneliti untuk menganalisis konsekuensi dari kebijakan negara dan inilah yang dilihat sebagai penyebab konflik agraria. Apabila menggunakan Teori Pluralisme Hukum maka akan terlihat konflik agraria akibat dari pertentangan hukum yang dibuat oleh Negara dengan hukum adat, mengakibatkan hukumnya menjadi sentral analisis.
Ketiga teori ini tidak dapat dipakai untuk mengkaji konflik agraria akibat dari pengaruh negara yang makin kuat dalam masyarakat sipil yang disebabkan oleh negara modern yang penetratif. Dapat disimpulkan berdasarkan penelitian ini bahwa teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan negara sebagai penyebab konflik agraria dan penentu resolusinya adalah teori formasi negara.
Teori Formasi Negara
Konsep formasi negara yang dipakai dalam artikel ini mengacu kepada perkembangan Negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya serta perluasan jangkauannya terhadap masyarakat sipil. Formasi negara mengacu: kepada aktivitas - aktivitas negara yang berakibat terhadap formalisasi dan sistematisasi tindak an sosial dan dengan demikian mempertegas pembagian kerja antara negara dan masyarakat. Hal ini meliputi (a) penciptaan peraturan baru untuk mempertegas batasan apa yang diperbolehkan oleh negara dan apa yang tidak, (b) institusi untuk menjalankan aturan tersebut. Pejabat negara menjadi interpreter dan pemaksa.
Negara Penetratif
Negara modern adalah aktor pengatur utama dan mengatur banyak hal kehidupan social. negara dalam masyarakat modern adalah actor pendefinisi utama realitas sosial. Rakyat tidak boleh melakukan sesuatu, sedangkan Negara diperbolehkan oleh negara itu sendiri. Sebagai contoh, katanya, penggunaan kekerasan oleh negara merupakan tindakan yang sah men urut negara, sedangkan penggunaan kekerasan oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum oleh negara.
Formasi Negara dan Konflik
Formasi negara dapat menimbulkan konflik antara negara dengan masyarakat sipil. Pertama adalah karena konsekuensi dari per aturan yang dibuat oleh negara untuk membela kepentingan-nya. Negara membuat aturan-aturan dan memaksakan aturan-aturan tersebut untuk diterima oleh masyarakat sipil dan di berbagai tempat menyingkirkan hukum adat. Penerapan aturan-aturan negara ini ada yang merugikan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil tersebut yang mengakibatkan mereka  melawan negara untuk membela haknya.
Kedua, konflik antara masyarakat sipil dengan negara akibat cara yang dilakukan oleh aparatur Negara dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya, program-programnya atau peranan-peranannya.
Agen Pembebasan Tanah
Di Indonesia, menurut undang-undang, negara berkuasa penuh berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA/1960 menyatakan: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak -hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara -cara yang diatur oleh undang-undang”.
Badan yang hanya boleh mencabut hak -hak atas tanah tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia. Dia bukan hanya mengatur tanah miliknya sendiri, melainkan juga mengatur tanah yang dimiliki oleh rakyatnya. Inilah yang disebut sebagai negara menjadi penguasa tertinggi atas tanah di Indonesia.
Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA 1960 itu, negara di Indonesia menempat-kan dirinya sebagai agen pembebasan tanah, sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan tanah. Pemerintah setempat (diketuai oleh gubernur atau bupati/wali kota dan terdiri dari pejabat dari berbagai instansi) menjadi panitia yang mengorganisasi penyerahan tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri.
Panitia tersebut dibentuk di tingkat propinsi dan di tingkat kabupaten dan kota. Angggota panitia pembebasan tanah tersebut terdiri dari pejabat –pejabat pemerintah setempat yang diketuai oleh kepala daerah. Artinya, komunitas setempat tidak langsung bernegosiasi dengan investor atau dengan sebuah instansi pemerintah yang membutuhkan tanah mereka, melainkan melalui tim pembebasan tanah yang dibentuk oleh pemerintah setempat.
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan di Indonesia pemerintahlah yang mengalokasikan lahan hutan, laut, sungai dan tanah untuk ditambang kepada para investor dimana saja di republik ini. Sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah diserahkan Negara kepada pebisnis, dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Di sektor perkebunan saja, proyek pemerintah mengalokasikan tanah untuk perkembangan perkebunan besar kelapa sawit telah menyebabkan sampai tahun 2004 seluas 6.059.441 hektar tanah di kawasan perdesaan telah dikontrol oleh perusahaan besar perkebunan kelapa sawit di berbagai tempat di Indonesia. Kira - kira 19.840.000 hektar tanah lagi direncanakan akan dialokasikan oleh pemerintah propinsi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar tersebut.
Pengatur Urusan Agraria
Penduduk Nagari Kinali Menuntut Kebun Plasma. Komunitas Nagari Kinali memprotes ketujuh buah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di wilayah mereka dari tahun 1990 sampai saat awal tahun 2006. Lebih dari 50 kali aksi -aksi kolektif untuk menyatakan tuntutan dan penekanan telah mereka lakukan, pada umumnya diarahkan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Aksi -aksi kolektif tersebut mereka lakukan untuk memperjuangkan dua hal. Pertama, ninik mamak setempat beserta anggota kaumnya menuntut kebun plasma kelapa sawit kepada perusahaan-perusahaan.
Kedua, pada umumnya perusahaan perkebunan kelapa sawit telah membangun kebun plasma, tetapi dalam hal ini, ninik mamak Nagari Kinali menuntut perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut untuk mengkonversi (menyerahkan) kebun plasma kelapa sawit yang telah dibangun oleh perusahaan inti dan telah mulai berproduksi.
Alasan komunitas Nagari Kinali menuntut kebun plasma adalah tanah yang mereka berikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit oleh para investor adalah tanah ulayat milik mereka yang tidak mereka jual kepada para investor tersebut. Pembayaran yang dibuat oleh para investor kepada ninik mamak setempat adalah pembayaran untuk uang adat, sebagai uang baangku mamak (uang sebagai tanda pendatang diterima sebagai anak nagari) dan dalam tradisi setempat pembayaran tersebut disebut mekanisme adat diisi limbago dituang (adat dipenuhi kesepakatan dibuat).
Cara yang dipakai oleh orang Nagari Kinali untuk menuntut kebun plasma kelapa sawit beragam.
1.       mereka berusaha melobi pihak perusahaan dan aparat pemerintah setempat dengan cara mengirim surat dan mendatangi pejabat -pejabat setempat, mulai dari kecamatan sampai ke kabupaten bahkan sampai ke propinsi Sumatera Barat. Setelah upaya lobi tidak berhasil, mereka melakukan upaya penekanan dengan melakukan demonstrasi sampai memblokade aktivitas perusahaan perkebunan sawit untuk memanen sawitnya. Bahkan ada seorang ninik mamak Nagari Kinali yang membawa kasus konfliknya dengan sebuah perusahaan ke pengadilan negeri di Kota Padang.
Negara Sebagai Agen Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar Di Sumatera Barat telah dibangun perkebunan beskala besar, pada umumnya perkebunan kelapa sawit, semenjak akhir 1980an sampai pertengahan 1990an diberbagai kabupaten. Sampai tahun 2001 tercatat ada sebanyak 55 buah perkebunan berskala besar di Sumatera Barat yang mengontrol tanah seluas 336,674 hektar. Nagari Kinali merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit berskala besar tersebut. Kebun kelapa sawit pertama kali dibangun di nagari ini pada tahun 1934 (Kementrian Penerangan 1953:730). Kemudian semenjak akhir 1980an dan awal 1990an sebanyak tujuah buah perkebunan kelapa sawit berskala besar dibangun di daerah ini. Enam buah diantaranya dibangun oleh perusahaan swasta nasional dan asing.
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan kabupaten Pasaman memainkan peranan penting dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Nagari Kinali. Akibat upaya dari kedua pemerintah tersebutlah investor -investor perkebunan kelapa sawit menanamkan modalnya di Nagari Kinali, karena merekalah yang mengundang investor -investor tersebut untuk menanamkan modalnya di Nagari itu. Tujuan manifes pemerintah tersebut adalah untuk mengembangkan daerah tersebut dan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
pemerintah kabupaten Pasaman Sebagai Agen Pembebasan Tanah Ulayat. Untuk mendapatkan tanah bagi bisnis perkebunannya, para investor tidak bernegosiasi langsung dengan para pemilik tanah, melainkan diperantarai oleh pemerintah kabupaten Pasaman dengan membentuk tim pembebasan tanah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai perantara, pemerintah kabupaten Pasaman membujuk ninik mamak Nagari Kinali untuk bersedia menyerahkan tanah ulayat mereka untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
bukan hanya membujuk penduduk tempatan untuk bersedia menyerahkan tanah ulayat mereka, pemerintah kabupaten Pasaman memainkan peranan penting pula dalam proses pengambil alihan tanah komunitas Nagari Kinali untuk perkebunan kelapa sawit. Secara keseluruhan, tanah yang dipakai oleh seluruh perkebunan kelapa sawit adalah tanah ulayat kelompok kekerabatan setingkat kaum Nagari Kinali yang otoritas pengelolaanya termasuk penyerahannya kepada pihak luar berada ditangan pimpinan kaum itu, yang disebut ninik mamak atau datuak.
Ada dua model penyerahan tanah dari ninik mamak Nagari Kinali ke para investor yaitu langsung dan tidak langsung. model penyerahan langsung, tanah ulayat diserahkan langsung oleh ninik mamak setempat kepada para investor yang diformalkan dengan surat pernyataan penyerahah tanah oleh ninik mamak dan diketahui oleh Camat Kecamatan Kinali dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kinali. Pada umumnya penyerahan tanah dengan luas di bawah dari 100 hektar diserahkan dengan model seperti ini, dan pada umumnya tanah tersebut tambahan terha -dap tanah yang jauh lebih luas yang telah diserahkan sebelumnya kepada para investor.
Model penyerahan tanah ulayat tidak langsung kepada investor perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh ninik mamak Nagari Kinali dengan cara menyerahkan tanah ulayat terlebih dahulu kepada pemerintah kabupaten yang kemudian menyerahkan tanah tersebut kepada para investor. Secara resmi ninik mamak Nagari Kinali menyerahkan tanahnya kepada Bupati kabupaten Pasaman dan Agam untuk dipergunakan oleh para investor perkebunan kelapa sawit. Pada umumnya tanah ulayat nagari kinali diserahkan untuk dipakai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit mela lui model kedua ini.
Penyerahan tanah dari ninik mamak kepada pemerintah kabupaten Pasaman dan Agam diformalisasikan dengan surat pernyataan penyerahan tanah yang ditandatangani oleh ninik mamak (pemimpin adat atau pemimpin kekerabat -an) Nagari Kinali dan Bupati Pasaman serta Agam. Kemudian atas permintaan pemerintah setempat, ninik mamak Nagari Kinali menandatangani sebuah surat yang namanya Surat Pelepasan Hak, yang isinya sebuah pernyataan bahwa ninik mamak Nagari Kinali menyerahkan tanah ulayatnya untuk para investor perkebunan kelapa sawit. Surat ini diperlukan oleh perusahaan yang bersangkutan agar dapat mengusulkan untuk memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah itu kepada pemerintah, karena menurut peraturan negara yang berlaku HGU hanya bisa diber ikan atas tanah negara atau tanah yang telah dilepaskan haknya oleh pemiliknya.
Surat pernyataan pelepasan hak yang dibuat oleh ninik mamak tersebut dipakai oleh perusahaan perkebunan sebagai dasar pengurusan (alas hak) Hak Guna Usaha (HGU). Tanpa disadari oleh ninik mamak Nagari Kinali dan memang tidak diberitahu sebelumnya oleh panitia pembebasan tanah, Surat Pelepasan hak yang mereka serahkan kepada pemerintah setempat berdampak besar terhadap pemilikan tanah di nagari mereka. Surat Pelepasan Hak tersebut dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengurus HGU dari Kementrian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian, Surat Pelepasan Hak tersebut dijadikan alasan oleh pemerintah untuk dapat mengeluarkan HGU bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit atas tanah yang diserahkan oleh ninik mamak Nagari Kinali, karena surat pernyataan tersebut dianggap oleh pemerintah pusat sebagai bukti kepemilikan atas tanah telah diserahkan oleh ninik mamak setempat kepada negara, sehingga Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah negara eks tanah ulayat.
Dipihak lain, menurut ninik mamak Nagari Kinali, penyerahan tanah ulayat kepada pemerintah setempat bukanlah baik jual beli maupun pemindahan hak milik dan oleh sebab itu tanah tersebut masih menjadi milik mereka. Dengan demikian, meminta ninik mamak menandatangani Surat Penyerahan Tanah tanpa mengatakan kepada mereka konsekuensi dari surat itu merupakan proses licik yang ditempuh oleh pejabat pemerintah setempat untuk mengambil alih tanah ulayat di Nagari Kinali menjadi tanah negara. Aktor -aktor yang mengorganisiasi penyerahan tanah dari ninik mamak Nagari Kinali kepada pemerintah setempat adalah Panitia Pembebasan Tanah yang berisikan pejabat -pejabat pemerintah setempat dari berbagai instansi seperti Badan Pertanahan, Perkebunan, Kehutanan dan Tata Pemerintahan. Panitia ini dipimpin oleh Bupati kabupaten Pasaman. Panitia inilah yang melakukan berbagai hal mulai dari melobi ninik mamak sampai membuat surat menyurat penyerahan tanah ulayat yang ditandatangani oleh ninik mamak.
Hak-hak penduduk Nagari Kinali tidak dilindungi ketika Panitia Pembebasan Tanah kabupaten Pasaman melakukan aktivitasny a untuk membebaskan tanah. Pertama, hak –hak anggota kaum Nagari Kinali terhadap tanah ulayatnya tidak diprioritaskan oleh Tim tersebut. Seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ketimbang berusaha untuk melindungi kepentingan penduduk Nagari Kinali, untuk menguasai tanah ulayat kaum di Nagari Kinali pemerintah kabupaten Pasaman meng-kooptasi elit nagari sebagai strategi pintas.
2.      Panitia Pembebasan tanah kabupaten Pasaman gagal menginventarisasi adanya tanah dalam kawasan yang diserahkan oleh ninik mamak berupa tanah garapan beberapa orang ninik mamak. Menurut undang-undang, Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda -benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atas tanah akan dilepaskan atau diserahkan. Jelas, Panitia gagal mengungkapkan bahwa di atas tanah ulayat yang akan dibebaskan ada tanah garapan penduduk.
3.      untuk merayu pimpinan adat nagari kinali untuk bersedia menyerahkan tanah ulayat kaum mereka untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, pemer intah kabupaten Pasaman berjanji kepada mereka bahwa pemimpinan adat tersebut dan anggota kaumnya akan mendapatkan kebun plasma kelapa sawit sebagai konpensasi atas kesediaan mereka menyerahkan tanah ulayat mereka untuk perusahaan. Disayangkan bahwa pemerintah se-tempat tidak menuangkan janji tersebut kedalam surat penyerahan 7000 hektar tanah dari 20 orang ninik mamak Nagari Kina li kepada Bupati Pasaman untuk PT. TSG pada tahun 1989 dan 1990. Karena ketidak tahuan dan terlalu percaya kepada pemerintah setempat serta mungkin juga karena tergiur oleh uang banyak, ninik mamak yang menyerahkan tanah itu tidak mempersoalkan keabsenan j anji kebun plasma dalam surat penyerahan tanah itu. Seperti yang akan dijelaskan nanti, kelalaian pemerintah tersebut merugikan pemilik tanah ulayat di Nagari Kinali dan menguntungkan perusahaan yang bersangkutan.
Respon Pemerintah Kabupaten Pasaman
Pemerintah kabupaten Pasaman dan DPRD setempat tidak memberikan dukungan yang maksimal untuk mewujudkan tuntutan-tuntuan orang Nagari Kinali, khususnya tuntutan untuk mendapatkan kebun plasma kelapa sawit.
Sebagai respon terhadap tuntutan orang Nagari Kinali, DPRD kabupaten Pasaman menganjurkan Pemda setempat untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik antara penduduk nagari di Pasaman Barat dengan perkebunan kelapa sawit, termasuk kasus-kasus di nagari Kinali. Anggota DPRD tersebut ada juga yang mengritik pemerintah kabupaten Pasaman dengan mengatakan mereka telah lalai menyelesaikan konflik dan tidak serius menyelesaikan konflik -konflik perkebunan yang terjadi.
Akan tetapi, respon mereka hanya sebatas anjuran dan kritikan. Baik DPRD sebagai sebuah lembaga maupun anggota-anggotanya tidak ada yang berusaha untuk memediasi antara orang Nagari Kinali, perkebunan Kelapa sawit dan pemerintah setempat untuk mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pemerintah kabupaten Pasaman sendiri berkeberatan untuk mendorong perusaan untuk mengambulkan permintaan orang Kinali akan perkebunan plasma kelapa sawit, berdasarkan alasan tidak adanya perjanjian tertulis bahwa perusahaan bersangkutan berjanji memberikan perkebunan plasma kepada mereka. Ironisnya, pemerintah kabupaten Pasaman tidak mengakui perjanjian tersebut, pada hal perjanjian itu menguntungkan rakyatnya. Bagi pemerintah setempat, perjanjian yang mereka maksud adalah perjanjian tertulis ketika proses penyerahan tanah antara PT. TSG dengan ninik mamak Kinali. Pada hal, pada tahun 1989, ketika Bupati yang disebutkan diatas menghadiri upacara penanaman pertama kelapa sawit d i perkebunan perusahaan, dalam kata sambutannya dia mengatakan bahwa PT. TSG akan membangun kebun plasma untuk para pemilik tanah, dan hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur PT. TSG.
Jadi pemerintah kabupaten Pasaman semenjak awal telah menyadari bahwa pemilik tanah ulayat Nagari Kinali perlu mendapatkan kebun plasma. Dengan demikian, sesungguhnya, keabsenan perjanjian tertulis yang dipersoalkan oleh PT. TSG merupakan kesalahan Tim Pembebasan Tanah kabupaten Pasaman, yang adalah representatif Pemda itu sendiri, karena merekalah yang mengorganisasi penyerahan tanah dari ninik mamak Nagari Kinali kepada PT. TSG.
Oleh karena itulah ketua DPRD kabupaten Pasaman berpendapat bahwa konflik antara orang kinali dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit akibat kesalahan pemerintah terdahulu. Semua itu memperlihatkan bahwa penyelesaian protes orang Nagari Kinali terhadap PT. TSG menguntungkan perusahaan bersangkutan, karena kegagalan pemerintah setempat memasukkan janjinya dan PT. TSG untuk menyediakan kebun plas -ma bagi pemilik tanah ulayat telah dipergunakan oleh manajemen PT. TSG untuk tidak membangun kebun plasma untuk pemilik tanah ulayat yang telah menyerahkan 7000 hektar tanah ulayatnya melalui Bupati Pasaman untuk PT. TSG.
Tetapi, delapan tahun kemudian, sampai awal 2005, kebun plasma tersebut belum juga dibangun perusahaan bersangkutan. Pada tahun 2004, PT. TSG dijual menajemen-nya kepada sebuah perusahaan lain tanpa sepengetahuan pimpinan adat pemilik tanahnya. Tentu peroalannya akan bertam-bah komplek dimasa yang akan dating.
Tidak Mengkonversi Kebun Plasma Proses penyerahan tanah ulayat untuk perusahaan perkebunan yang lain dilakukan setelah pengadaan tanah untuk PT. TSG selesai, seperti untuk PT. AMP, PT. TR dan PT. PANP. Berbeda dengan kasus PT. TSG, dalam surat penyerahan tanah dari ninik mamak Nagari Kinali kepada Bupati Pasaman dan Agam untuk perusahaan perkebunan tersebut dinyatakan secara explisit bahwa pemilik tanah ulayat akan diberikan kebun plasma. Sesuai dengan janji, perusahaan-perusahaan tersebut telah membangun kebun plasma kelapa sawit untuk pemilik tanah ulayat dan kebun tersebut telah mulai berproduksi. Namun kebun tersebut belum dikon-versi (belum diserahkan kepada calon pemiliknya), karena itu kebun tersebut terus dikontrol dan dipanen oleh perusahaan. Alasan baik yang dikemukan oleh perusahaan maupun pemerintah setempat mengapa kebun plasma belum dikonversi adalah keanggotaan dan koperasi petani plasma belum terbentuk. Semua ini disebabkan oleh para calon penerima kebun plasma merupakan persoalan yang pelik. Ketentuan awalnya adalah calon–calon penerima kebun plasma berasal dari anggota kaum pemilik tanah ulayat.
Namun, kemudian, berbagai manipulasi nama-nama calon penerima kebun plasma kelapa sawit itu terjadi. Sebagai contoh, seorang pemimpin adat setempat yang dipercayai penduduk Kinali memanipulasi nama-nama calon penerima kebun plasma ketika dia diberi amanah oleh ninik mamak Kinali untuk menyampaikan dokumen yang berisikan nama-nama calon penerima kebun plasma tersebut ke pemerintah Kabupaen Pasaman. Dia menjual kuota tersebut kepada orang lain.
Persoalan calon penerima kebun plasma sesungguhnya tidak dapat dituduhkan kepada penduduk setempat saja, karena perbuatan pimpinan adat yang mem ani-pulasi nama-nama calon penerima kebun plasma dimungkinkan oleh kelalaian pemerintah kabupaten Pasaman. Hal ini disebabkan oleh karena, menurut peraturan pemerintah kabupaten Pasaman bertan g-gungjawab merekrut anggota plasma. Per-soalan yang berkaitan dengan rekrutmen para calon penerima kebun plasma, dengan demikian, adalah berarti kegagalan pemerintah daerah kabupaten Pasaman itu sendiri. Disamping itu, pengorganisasi pengkonversian kebun plasma kepada para calon pemilik merupakan tugas Pemda pula. Karena itu, persoalan-persoalan berkenaan dengan pengkonversian kebun plasma merupakan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan perkebunan dengan model inti -plasma di Nagari Kinali.
Sampai awal tahun 2007, pemerintah kabupaten tidak melakukan tugasnya untuk mengkonversi kebun plasma kelapa sawit ke calon penerima di Nagari Kinali. Pada hal, pada akhir 1999, merespon tuntutan dari penduduk Nagari Kinali, Bupati kabupaten Pasaman telah menyatakan persetujuannya bahwa kebun plasma kelapa sawit yang telah berproduski untuk ditransfer kepemilikannya dan pengelolaannya kepada calon penerima di Nagari Kinali. Tambahan lagi, menurut informasi dari kantor Kecamatan Kinali, pada tahun 2001 kira –kira 1120 hektar kebun plasma kelapa sawit sudah pantas untuk dikonversi.
Pada tahun 2004, kabupaten Pasaman dimekarkan menjadi dua kabupaten yakni, kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman Barat. Nagari Kinali setelah pemekaran masuk wilayah kabupaten baru. Tidak ada perubahan berarti bagi penduduk kinali untuk mendapatkan hak – hak mereka pasca pemekaran kabupaten ini sampai awal tahun 2007.
Kesimpulan
Hasil penelitian di sebuah komunitas perdesaan pusat perkebunan kelapa sawit berskala besar di propinsi Sumatera Barat menunjukkan bahwa teori formasi negara berguna untuk menjelaskan konflik agraria. Contoh kasus protes komunitas Nagari Kinali terhadap perusahaan–perusahaan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan bahwa protes tersebut merupakan konsekuensi laten dari makin berkembangnya pengaruh negara terhadap masyarakat sipil di Sumatera Barat pada umumnya dan di Nagari Kinali khususnya dalam urusan -urusan agraria yang dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan kepentingan komunitas setempat.
Telah ditunjukkan bahwa pemerintah propinsi Sumatera Barat dan Pemerintah kabupaten Pasaman bertindak sebagai fasilitator pengembangan perkebunan kelapa sawit di Nagari Kinali dengan cara mengundang para investor, mengorganisasi penyediaan tanah bagi para investor perkebunan dan memperantarai antara investor-investor perkebunan kelapa sawit dengan komunitas Nagari Kinali. Pengorganisasian penyerahan tanah dari para pimpinan adat setempat sebagai pemegang otoritas tanah ulayat kepada para investor perkebunan dilakukan pula oleh pemerintah kabupaten.
Konflik antara penduduk Nagari Kinali dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit terjadi karena dalam melaksanakan perannya sebagai fasilitator pengembangan perkebunan kelapa sawit, pemerintah kabupaten Pasaman gagal memprioritaskan kepentingan pemilik tanah ulayat dan tidak melakukan tugasnya dengan baik dalam menyelenggarakan pembangunan Perkebunan Inti Rakyat di Nagari Kinali. Setelah gagal memprioritaskan kepentingan pemilik tanah ulayat, pemerintah kabupaten setempat tidak melakukan upaya untuk mengabulkan permintaan pemilik tanah tersebut, walaupun mereka telah berjanji ketika proses pengadaan tanah berlangsung.

Posting Komentar

0 Komentar